PENDAHULUAN
Penyakit leptospirosis menyerang
segala umur meskipun sebagian besar terjadi pada usia muda. Di AS, dijumpai
50-150 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia leptospirosis menjadi kasusu
endemis nomor tiga dengan angka kematian yang tinggi. Kelompok resiko tinggi
yaitu pembersih parit, petani, petugas survey hutan, dokter hewan dan pekerja
laboratorium.
Berdasarkan manifestasi klinik,
leptospirosis dibagi menjadi leptospirosis ikterik dan anikterik. Gambaran dari
pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia dan trombositopenia,
kenaikan enzim transaminase dan enzim keratin posfokinase. Pemeriksaan
penunjang lainnya dalah pemeriksaan serologis (leptodipstik). Diagnosis pasti
leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari suatu isolate atau
gejala klinis dengan serologi posistif.
Secara klinis leptospirosis
dibagi menjadi empat fase yaitu
ü Periode
inkubasi (hari 2-10)
Yaitu bakteri
masuk ke dalam tubuh melalui luka atau mukosa flagella bakteri membantu penetrasi
ke jaringan.
ü Fase
Septikemi (hari 4-7)
Gejala kinis
ditandai demam mendadak, sakit kepala,nyeri otot mual. Leptospirosa diisolasi
dari darah, cairan serebros[inal dan sebagian besar jaringan. Kebnayakan tidak
ikterik tetapi 5-10% mengalami ikterik
ü Fase
Antara (hari 1-3)
Demam dan
gejala lainnya pulih sementara menjelang onset dari fase imun
ü Fase
Imun (hari >30 hari)
Demam kembali
dan timbul gejala meningitis. Timbul respon humoral antibody leptospira
mengakibatkan pembersihan organisme dari sebagian jaringan kecuali tubule
ginjal dan leptospira terus tumbuh dalam jangka waktu yang lama.
Berdasarkan berat ringanya gejala
klinik, leptospirosis dibagi menjadi dua jenis yaitu leptospirosis ringan dan
berat.
Leptospirosis berat atau yang
dikenal sebagai penykit weil syndrome
memiliki gejala klinis yang khas yaitu ikterik, pneumonia, perdarahan,
gagal ginjal dan meningitis. Penyakit
weil sering mengakibatkan adult respiratory distress syndrome dan severe
pulmonary haemorraghe syndrome dengan angka mortalitas 20%.
KASUS
Wanita hamil (G1P0A0) 22 tahun
pindahan dari ruang rawat penyakit dalam dengan penurunan kesadaran, sesak
nafas spontan, merah dan berbusa disertai demam. Pasien ini adalah seorang
petani,dan sebelumnya merupakan rujukan dari RS lain yang dirawat dengan
diagnosis hipertensi gravidarum disertai dengan gagal ginjal akut.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan
adanya gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, serta leptodipstik positif
sehingga ditegakkan diagnosis weil syndrome. Terapi yang diberikan adalah
rehidrasi, antibiotik. Namun setelah 6 hari mengalami perburukan dan dirawat di
ICU
Pemeriksaan fisik sewaktu masuk
ICU, pasien tampak sakit berat ,kesadaran menurun GCS E3M3V4. Tekanan darah
132/91 mmhg, RR:120x/mnt, suhu 38,8 celsius, konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan auskultasi didapatkan ronchi basah namun tidak terdapat tanda-tanda
edema pada kedua ekstremitas. Hasil laboratorium hanya leukosit yang meningkat
menjadi 22.750/mm
AGD : PH. 7,33. PCO2: 27. PO2:45.
HCO3 :14,5. BE: -9,5, Saturasi 73,1% diberikan oksigenasi binasal canul :5
liter/mnt. Kadar ureum 105 mg/dl. Kreatinin 3,4 mg/l, SGOT: 721, SGPT 642u/l.
Protein total 4,7. Globulin 2,2 dan leptodipstik (+).
Diagnose kerja adalah gagal nafas
hipoksemia karena edema paru disertai penyakit weil, acute kidney injury dengan
kehamilan. Skor APACHE II 24 dengan prediksi angka mortalitas 49,7%.
Pengelolaan pasien ini dimulai dengan pemberian bantuan ventilasi mekanik
dengan pola pressure controlled ventilation.Kecuali dengan bantuan ventilasi mekanik
dengan PEEP tinggi, infus diuretic untuk mengatasi udema paru. Antibiotik
disesuaikan dengan kulture darah yng sudah diambil.
Pada hari pertama pasien
masih hipoperfusi yang ditandai dengan hiperlaktatemia sehingga pasien belum
diberikan terapi nutrisi. Gangguan faal koagulasi terjadi dan dikoreksi dengan
pemberian vitmin K selama 3 hari. Kemuadian dilakukan koreksi elektolit dengan
kalsium gluconas. Terapi lainnya diberikan untuk mencegah stress ulcer, glucose
control. Dilakukan juga transfuse sel darah merah pekat 500ml. Pengndalian suhu
dilakukan dengan pemberian infus antipiretik. Pasien ini segera dilakukan
hemodialisa karena oliguria edema paru dan hyperkalemia.
Pada hari kedua sudah tampak
perbaikan oksigenasi dan ventilasi dengan hasil AGD PH:7,4. PCO2:42mmhg, PO2:
129mmHg, HCO3: 24,8 dan BE 1,5. Vetilator dipersiapkan untke weaning.
Keadaan
peruse membaik yang ditandai dengan tekana darah 112/81 mmHg dengan kadar
laktat 1,7 dan terapi enteral dengan nefrisol dimulai.
Pada hari
berikutnya hasil pemeriksaan AGD semakin memvaik, dengan P/F ratio 320,5 dan
kadar Hb 10,6 g/dl, leukosit 15.000mm. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kardiomegali
tanpa bendungan edema paru. Dan penyapihan ventilator dimulai dengan mode
pressure support dan CPAP.
Pada hari
keenam dilakukan estubasi ETT dan diganti dengan masker nonn rebreathing10
ltr/mnt dan pada hari berikutnya diberikan okesigenasi binasal kanul, dan
pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa
Pasien
kembali masuk ICU. Pada pemeriksaan fisik,
kesadaran: apatis . Tekanan darah 62/40 mmhg. Laju nadi 128 x/mnt,
tampak cyanosis dengan SpO2 70%. Pasien
mengalami henti jantung dan segera dilakukan resuitasi jantung paru dan
berhasil sedangkan tekanan vena central 21,9cmH2O.
Diagnosis
kerja sebagai gagal nafas karena edema paru kardiogenik dengan penyulit syok
kardiogenik. Skor APACHE II dengan 37% dengan prediksi angka mortalitas 83,1%.
Pasien
kemudian diberikan ventilasi dengan mode volume control namun keadaan
hemodinamik tidak stabil sehingga diberikan norprinefrin dan dobutmin dengan
dosis sedang. Untuk NGT berwarna hitm yng kemuian disambung dan diberikan obat
untuk mengontol stress ulcer. Infus diuretic diberikan setelah tekanan sistolik
> 90mmhg. Terapi antibiotk disesuaikan dengan hasil culture.
Hari
berikutnya keadaan umum pasien mulai
membaik, ditandai dengan hemodinamik yang membaik, sesak berkurang dan ronchi
basah pada kedua lapang paru sudah berkurang. Pada pemantauan denyut jantung
janin negatif, dan dilakukan terminasi kehamilan. Hasil pemeriksaan AGD PH
7,37. PCO2: 43,7 mmhg, PO2: 91,2 mmhg, BE:-0,1 HCO3: 25,2. Rasio P/F 212.
Bantuan ventilasi mekanik diubah ke volume sinkronize.
Pada hari
ketiga pasien sadar untuk sesak dan demam berkurang. Foto thoraks menunjukkan
kardiomegali tetapi tidak ditemukan edema paru. Pemeriksaan echo menunjukkan
ejection fraction (EF) 72%, mitral insufficiency ringan dan Aortic Isufficiency
ringan.
PEMBAHASAN
Demam yang
berlangsung terus menerus disertai adanya riwayat pekerjaan di sawah, pemeriksaan
penunjang didapatkan peningkatan inflamasi hati dan tanda-tanda gagal ginjal,
serta didukung hasil positif pada pemeriksaan antibody terhadap leptospirosis,
maka pasien ini didiagnosa leptospirosis. Insidens gangguan paru yang menyertai
penyakit weil berkisar 20-70%. Martinez gracia dkk melaporkan bahwa komplikasi
prognosis dan kematian yang tinggi. Dua bentuk utama keterlibatan paru adalah
ARDS dan pulmonary haemorrhage.
Pasien ini
mengalami edema paru kardiogenik karena pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda
kongesti berupa edema perifer, distensi dari vena jugularis dan ronchi basah
difuse pada kedua lapang paru. Pemeriksaan foto thofaks menunjukkan adanya
kardiomegali. Edema paru dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu edema paru
kardiogenik dan nonkardiogenik. Edema paru
non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru yang diakibatkan bukan gangguan pada jantung. Sedangkan edema paru
kardiogenik dihubungkan dengan peningkatan tekanan hidrostastik kapiler paru.
Penanganan kasus
edema paru kardiogenik adalah dimulai dengan resusitasi ABC. Pemberian oksigen
ditunjukkan untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas 90%. Pada pasien
hipoksemia atau hiperkarbia refrakter, tindakan intubasi trachea dan ventilasi
mekanik pada edema paru akan memudahkan terjadinya redistribusi cairan edema
sehingga dapat memperbaiki proses oksigenasi.
Penurunan preload
: dapat menurunkan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner dan menurunkan
transudasi cairan ke interstisium pulmoner dan alveolus. Terapi diuretic adalah
pilihan utama dalam menurunkan preload, demikian pula golongan nitrat efektif
untuk memperbaiki preload.
Penurunan afterload
: dapat meningkatkan cardiac output sehingga akan memperbaiki perfusi ventrikel
kiri yang berat atau masalah katup tidak toleran terhadap penurunan preload dan
afterload.
Memperbaiki
kontraktilitas bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat .
Inotropik yang biasa digunakan adalah dobutamin. Obat ini termasuk golongan
katekolamin yang bekerja direseptor beta 1 agonis, memiliki efek inotropic positif
sedikit efek kronotropik dan vasodilatasi perifer minimal. Edema paru yang
berulang dapat dipengaruhi oleh derajat jantung yang mendasari.
Suatu penelitian
di sao Paulo pada 33 pasien leptospirosis yang dirawat di ICU, melaporkan
adanya penurunan bermakna angka mortalitas pada kelompok pasien yang
mendapatkan dialysis segera dibandingkan dengan kelompok pasien yang terapi dialysis
tertunda.
Leptospirosis
selama kehamilan dapat menimbulkan kematian janin dan sering dijumpai pada
trimester pertama kehamilan. Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan
setelah diperiksa denyut jantung janin tidak ada.
Penulis : Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri M, Syafri Kamsul A, Hisbullah
Bagian ilmu penyakit dalam Unhas dan Bagian Anestesi dan terapi intensive Unhas
No comments:
Post a Comment