Tuesday, November 3, 2015

Penyakit Weil Pada Kehamilan


PENDAHULUAN

Penyakit leptospirosis menyerang segala umur meskipun sebagian besar terjadi pada usia muda. Di AS, dijumpai 50-150 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia leptospirosis menjadi kasusu endemis nomor tiga dengan angka kematian yang tinggi. Kelompok resiko tinggi yaitu pembersih parit, petani, petugas survey hutan, dokter hewan dan pekerja laboratorium.
Berdasarkan manifestasi klinik, leptospirosis dibagi menjadi leptospirosis ikterik dan anikterik. Gambaran dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia dan trombositopenia, kenaikan enzim transaminase dan enzim keratin posfokinase. Pemeriksaan penunjang lainnya dalah pemeriksaan serologis (leptodipstik). Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari suatu isolate atau gejala klinis dengan serologi posistif.

Secara klinis leptospirosis dibagi menjadi empat fase yaitu
ü  Periode inkubasi (hari 2-10)
Yaitu bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka atau mukosa flagella bakteri membantu penetrasi ke jaringan.
ü  Fase Septikemi (hari 4-7)
Gejala kinis ditandai demam mendadak, sakit kepala,nyeri otot mual. Leptospirosa diisolasi dari darah, cairan serebros[inal dan sebagian besar jaringan. Kebnayakan tidak ikterik tetapi 5-10% mengalami ikterik
ü  Fase Antara (hari 1-3)
Demam dan gejala lainnya pulih sementara menjelang onset dari fase imun
ü  Fase Imun (hari >30 hari)
Demam kembali dan timbul gejala meningitis. Timbul respon humoral antibody leptospira mengakibatkan pembersihan organisme dari sebagian jaringan kecuali tubule ginjal dan leptospira terus tumbuh dalam jangka waktu yang lama.

Berdasarkan berat ringanya gejala klinik, leptospirosis dibagi menjadi dua jenis yaitu leptospirosis ringan dan berat.
Leptospirosis berat atau yang dikenal sebagai penykit weil syndrome  memiliki gejala klinis yang khas yaitu ikterik, pneumonia, perdarahan, gagal ginjal  dan meningitis. Penyakit weil sering mengakibatkan adult respiratory distress syndrome dan severe pulmonary haemorraghe syndrome dengan angka mortalitas 20%.


KASUS
Wanita hamil (G1P0A0) 22 tahun pindahan dari ruang rawat penyakit dalam dengan penurunan kesadaran, sesak nafas spontan, merah dan berbusa disertai demam. Pasien ini adalah seorang petani,dan sebelumnya merupakan rujukan dari RS lain yang dirawat dengan diagnosis hipertensi gravidarum disertai dengan gagal ginjal akut.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, serta leptodipstik positif sehingga ditegakkan diagnosis weil syndrome. Terapi yang diberikan adalah rehidrasi, antibiotik. Namun setelah 6 hari mengalami perburukan dan dirawat di ICU
Pemeriksaan fisik sewaktu masuk ICU, pasien tampak sakit berat ,kesadaran menurun GCS E3M3V4. Tekanan darah 132/91 mmhg, RR:120x/mnt, suhu 38,8 celsius, konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ronchi basah namun tidak terdapat tanda-tanda edema pada kedua ekstremitas. Hasil laboratorium hanya leukosit yang meningkat menjadi 22.750/mm
AGD : PH. 7,33. PCO2: 27. PO2:45. HCO3 :14,5. BE: -9,5, Saturasi 73,1% diberikan oksigenasi binasal canul :5 liter/mnt. Kadar ureum 105 mg/dl. Kreatinin 3,4 mg/l, SGOT: 721, SGPT 642u/l. Protein total 4,7. Globulin 2,2 dan leptodipstik (+).
Diagnose kerja adalah gagal nafas hipoksemia karena edema paru disertai penyakit weil, acute kidney injury dengan kehamilan. Skor APACHE II 24 dengan prediksi angka mortalitas 49,7%. Pengelolaan pasien ini dimulai dengan pemberian bantuan ventilasi mekanik dengan pola pressure controlled ventilation.Kecuali dengan bantuan ventilasi mekanik dengan PEEP tinggi, infus diuretic untuk mengatasi udema paru. Antibiotik disesuaikan dengan kulture darah yng sudah diambil. 

Pada hari pertama pasien masih hipoperfusi yang ditandai dengan hiperlaktatemia sehingga pasien belum diberikan terapi nutrisi. Gangguan faal koagulasi terjadi dan dikoreksi dengan pemberian vitmin K selama 3 hari. Kemuadian dilakukan koreksi elektolit dengan kalsium gluconas. Terapi lainnya diberikan untuk mencegah stress ulcer, glucose control. Dilakukan juga transfuse sel darah merah pekat 500ml. Pengndalian suhu dilakukan dengan pemberian infus antipiretik. Pasien ini segera dilakukan hemodialisa karena oliguria edema paru dan hyperkalemia.
Pada hari kedua sudah tampak perbaikan oksigenasi dan ventilasi dengan hasil AGD PH:7,4. PCO2:42mmhg, PO2: 129mmHg, HCO3: 24,8 dan BE 1,5. Vetilator dipersiapkan untke weaning.
Keadaan peruse membaik yang ditandai dengan tekana darah 112/81 mmHg dengan kadar laktat 1,7 dan terapi enteral dengan nefrisol dimulai.
Pada hari berikutnya hasil pemeriksaan AGD semakin memvaik, dengan P/F ratio 320,5 dan kadar Hb 10,6 g/dl, leukosit 15.000mm. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kardiomegali tanpa bendungan edema paru. Dan penyapihan ventilator dimulai dengan mode pressure support dan CPAP.
Pada hari keenam dilakukan estubasi ETT dan diganti dengan masker nonn rebreathing10 ltr/mnt dan pada hari berikutnya diberikan okesigenasi binasal kanul, dan pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa

Pasien kembali masuk ICU.  Pada pemeriksaan fisik, kesadaran: apatis . Tekanan darah 62/40 mmhg. Laju nadi 128 x/mnt, tampak cyanosis dengan  SpO2 70%. Pasien mengalami henti jantung dan segera dilakukan resuitasi jantung paru dan berhasil sedangkan tekanan vena central 21,9cmH2O.
Diagnosis kerja sebagai gagal nafas karena edema paru kardiogenik dengan penyulit syok kardiogenik. Skor APACHE II dengan 37% dengan prediksi angka mortalitas 83,1%.
Pasien kemudian diberikan ventilasi dengan mode volume control namun keadaan hemodinamik tidak stabil sehingga diberikan norprinefrin dan dobutmin dengan dosis sedang. Untuk NGT berwarna hitm yng kemuian disambung dan diberikan obat untuk mengontol stress ulcer. Infus diuretic diberikan setelah tekanan sistolik > 90mmhg. Terapi antibiotk disesuaikan dengan hasil culture.
Hari berikutnya keadaan umum  pasien mulai membaik, ditandai dengan hemodinamik yang membaik, sesak berkurang dan ronchi basah pada kedua lapang paru sudah berkurang. Pada pemantauan denyut jantung janin negatif, dan dilakukan terminasi kehamilan. Hasil pemeriksaan AGD PH 7,37. PCO2: 43,7 mmhg, PO2: 91,2 mmhg, BE:-0,1 HCO3: 25,2. Rasio P/F 212. Bantuan ventilasi mekanik diubah ke volume sinkronize.

Pada hari ketiga pasien sadar untuk sesak dan demam berkurang. Foto thoraks menunjukkan kardiomegali tetapi tidak ditemukan edema paru. Pemeriksaan echo menunjukkan ejection fraction (EF) 72%, mitral insufficiency ringan dan Aortic Isufficiency ringan.

PEMBAHASAN
Demam yang berlangsung terus menerus disertai adanya riwayat pekerjaan di sawah, pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan inflamasi hati dan tanda-tanda gagal ginjal, serta didukung hasil positif pada pemeriksaan antibody terhadap leptospirosis, maka pasien ini didiagnosa leptospirosis. Insidens gangguan paru yang menyertai penyakit weil berkisar 20-70%. Martinez gracia dkk melaporkan bahwa komplikasi prognosis dan kematian yang tinggi. Dua bentuk utama keterlibatan paru adalah ARDS dan pulmonary haemorrhage.
Pasien ini mengalami edema paru kardiogenik karena pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda kongesti berupa edema perifer, distensi dari vena jugularis dan ronchi basah difuse pada kedua lapang paru. Pemeriksaan foto thofaks menunjukkan adanya kardiomegali. Edema paru dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Edema paru  non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan bukan gangguan pada jantung. Sedangkan edema paru kardiogenik dihubungkan dengan peningkatan tekanan hidrostastik kapiler paru.
Penanganan kasus edema paru kardiogenik adalah dimulai dengan resusitasi ABC. Pemberian oksigen ditunjukkan untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas 90%. Pada pasien hipoksemia atau hiperkarbia refrakter, tindakan intubasi trachea dan ventilasi mekanik pada edema paru akan memudahkan terjadinya redistribusi cairan edema sehingga dapat memperbaiki proses oksigenasi.


Pengelolaan edema paru kardiogenik ialah

Penurunan preload : dapat menurunkan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner dan menurunkan transudasi cairan ke interstisium pulmoner dan alveolus. Terapi diuretic adalah pilihan utama dalam menurunkan preload, demikian pula golongan nitrat efektif untuk memperbaiki preload.

Penurunan afterload : dapat meningkatkan cardiac output sehingga akan memperbaiki perfusi ventrikel kiri yang berat atau masalah katup tidak toleran terhadap penurunan preload dan afterload.


Memperbaiki kontraktilitas bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat . Inotropik yang biasa digunakan adalah dobutamin. Obat ini termasuk golongan katekolamin yang bekerja direseptor beta 1 agonis, memiliki efek inotropic positif sedikit efek kronotropik dan vasodilatasi perifer minimal. Edema paru yang berulang dapat dipengaruhi oleh derajat jantung yang mendasari.

Suatu penelitian di sao Paulo pada 33 pasien leptospirosis yang dirawat di ICU, melaporkan adanya penurunan bermakna angka mortalitas pada kelompok pasien yang mendapatkan dialysis segera dibandingkan dengan kelompok pasien yang terapi dialysis tertunda.

Leptospirosis selama kehamilan dapat menimbulkan kematian janin dan sering dijumpai pada trimester pertama kehamilan. Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan setelah diperiksa denyut jantung janin tidak ada.

Penulis : Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri M, Syafri Kamsul A, Hisbullah
Bagian ilmu penyakit dalam Unhas dan Bagian Anestesi dan terapi intensive Unhas

No comments:

Post a Comment