Monday, November 2, 2015

Kata Dijalan Cinta


Satu kata bilal                        : “Ahad”
Dua kata Rasul                       : “selimuti aku”
Tiga kata Ummu Salman         :”Islammu adalah maharku”
Empat kata Abu Bakar           : “Ya Rasullulah Saya percaya”
Lima kata cinta Umar              : “Ya rasullulah ijinkan kupenggal  lehernya”

Suatu ketika ‘Umar ibn Khatab sedang duduk dibawah sebatang kurma. Surbannya dilepas, menampakkan kepala dan rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Diatas kerikil dia duduk, dengan cemeti ‘Immat-nya’ tergeletak disamping tumpuan lengan. Dihadapannya para pemuka sahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang namapak menonjol disitu. ‘Abdullah ibn  ‘Abbas. Berulang kali ‘Umar memintanya berbicara. Jika perbedaan terwujud, Umar selalu setuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orangberwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukmin”, Ujar salah satu berseru-seru, “tegakkan hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini”!!
‘Umar bangkit. “Takutlah kalian kepada Allah”!! hardiknya. “Perkara apa ini??”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku. ‘Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?”
“Benar, wahai Amirul Mukmin !!”
“Engkau tidak menyangkal dan diwajahmu kulihat ada sesal !!” Ujar Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya !”.
“Aku datang dari negeri yang jauh”, kata belia itu. “begitu sampai dikota ini kutambatkan kudaku disebuah pohon dekat kebun keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu, ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
“saat aku kembali” , lanjutnya sambil menghela nafas , “kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul  kepala kudaku dengan batu sehingga hewan malang itu tewas menggenaskan. Melihat kejadian itu, aku terbakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, dan aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.”
Umar tercenung.
“Wahai Amirul Mukmin,” kata salah satu dari kedua kakak-beradik itu, “tegakkan hukum Allah. Kami meminta Qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
“Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia terbakar amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya . Umar iba dan merasa alangakah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian.” Ucap Umar ke arah kedua pemuda penuntut Qishash, “menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”.
Kedua pemuda ini saling pandang. “demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya ditengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram jika Had diteggakkan.!”
Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” Kata si belia dengan yankin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka. Demikian  juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”
Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus aku tunaikan . “Jadi bagaimana?” tanya Umar.
“Jika engkau mengijinkanku, wahai amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali kedaerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah , aku pasti kembali dihari ketiga untuk menepati hukumanku. Saat itu tegakkan had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khatab”.
“Adakah orang yang bisa menjaminmu?”
“Aku tidak memiliki seorangpun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
“Tidak ! demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tidak akan mengijinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku”.
Aku percaya tapi harus tetap ada manusia yang menjaminmu.”
“Aku tak punya !!.”
“Wahai Amirul Mukminin !!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku penjamin anak muda ini,dan birkanlah dia menunaikan amanahnya !”. Inilah dia Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri sebagai penjaminnya.
“Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini ?”
“ Benar aku bersedia.”
“kalian berdua kakak-adik mengajukan gugatan,” panggil Umar, apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini?” Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria dan tak sudi berkhianat.”
Kedua pemuda ini saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.

Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tidak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman duduk Khusyu’ didekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya diujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tidak datang memenuhi janjinya, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qhisash.
Waktu terus merambat. Pemuda belia itu tidak jua muncul.
Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tidak ingin kehilangan sahabat pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi satu, dimulai Abu Darda, beberapa sahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya. Tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin  batas waktu, lingsir kebarat. Kekhawatiran Umar semakin memuncak. Para sahabat makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa saat menjelang habisnya waktu tampak seorang datang berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum  tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah. “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat istirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan ditengah jalan. Aku harus berlari-lari sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”
Semua orang yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang  mendengar penuturannya merasakan keharuan yang ,mendesak-desak. Semua orang tiba-tiba merasa tak rela jika pemuda itu harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “ Mengapa kau datang kembali, padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak mati menanggung Qishash ?”.
“Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tidak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati dikalangan kaum Muslimin.”
“dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali ? bagaimana kau bisa mempercayainya ?”.
“Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tidak ada lagi orang yang mau saling berbagi beban dengan saudaranya. Atau janagn sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya diantara orang-orang muslim.”
“Allohu Akbar !” kata sang Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian tela membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan !”
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan.....” kata kakak-beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk memaafkannya”.  Mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak sengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah,!! Alhamdulillah !!” ujar Umar.  Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan ke arah kiblat mengagungkan asma Allah, yang kemudian diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan ,” Jawab mereka masih terharu, “Bahwa dikalangan umat muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang”.



*Diambil dari Dalam Dekapan Ukhuwah dan buku Jalan Cinta Para Pejuang by Salim A Fillah atau kisah tersebut bisa dibaca pada serial Sirah Nabawiyah dengan gaya bahasa yang berbeda*

No comments:

Post a Comment