Satu kata bilal : “Ahad”
Dua kata Rasul : “selimuti aku”
Tiga kata Ummu
Salman :”Islammu adalah maharku”
Empat kata Abu
Bakar : “Ya Rasullulah Saya
percaya”
Lima kata cinta
Umar : “Ya rasullulah ijinkan kupenggal lehernya”
Suatu ketika
‘Umar ibn Khatab sedang duduk dibawah sebatang kurma. Surbannya dilepas, menampakkan
kepala dan rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Diatas kerikil dia
duduk, dengan cemeti ‘Immat-nya’ tergeletak disamping tumpuan lengan.
Dihadapannya para pemuka sahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai
persoalan. Ada anak muda yang namapak menonjol disitu. ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Berulang kali ‘Umar memintanya
berbicara. Jika perbedaan terwujud, Umar selalu setuju dengan Ibnu Abbas. Ada
juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang
sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan
mereka segera terjeda. Dua orangberwajah mirip datang dengan mengapit pria
belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukmin”, Ujar salah satu
berseru-seru, “tegakkan hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini”!!
‘Umar bangkit. “Takutlah
kalian kepada Allah”!! hardiknya. “Perkara apa ini??”
Kedua pemuda itu
menegaskan bahwa pria belia mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka
siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah
mengaku. ‘Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan
kepadamu ini?”
“Benar, wahai
Amirul Mukmin !!”
“Engkau tidak
menyangkal dan diwajahmu kulihat ada sesal !!” Ujar Umar menyelidik dengan
teliti. “Ceritakanlah kejadiannya !”.
“Aku datang dari
negeri yang jauh”, kata belia itu. “begitu sampai dikota ini kutambatkan kudaku
disebuah pohon dekat kebun keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk
mengurus suatu hajat tanpa aku tahu, ternyata kudaku mulai memakan sebagian
tanaman yang ada di kebun mereka.”
“saat aku
kembali” , lanjutnya sambil menghela nafas , “kulihat seorang lelaki tua yang
kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu sehingga hewan
malang itu tewas menggenaskan. Melihat kejadian itu, aku terbakar amarah dan
kuhunus pedang. Aku khilaf, dan aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon
ampun kepada Allah karenanya.”
Umar tercenung.
“Wahai Amirul
Mukmin,” kata salah satu dari kedua kakak-beradik itu, “tegakkan hukum Allah.
Kami meminta Qishash atas orang ini.
Jiwa dibayar dengan jiwa.”
“Umar melihat
pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia terbakar
amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat
sesal tampak jelas membayang di air mukanya . Umar iba dan merasa alangakah
sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu
pagi. “Bersediakah kalian.” Ucap Umar ke arah kedua pemuda penuntut Qishash, “menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan
memaafkannya?”.
Kedua pemuda ini
saling pandang. “demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “sungguh kami
sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta.
Keberadaannya ditengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami
bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram
jika Had diteggakkan.!”
Umar terhenyak,
“Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha hukum
Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” Kata si belia dengan yankin.
“Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas
beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka.
Demikian juga keluargaku. Aku bekerja
untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus
aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah
ibuku.”
Umar terenyuh.
Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tapi pemuda itu juga memiliki
amanah yang harus aku tunaikan . “Jadi bagaimana?” tanya Umar.
“Jika engkau
mengijinkanku, wahai amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali
kedaerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah , aku pasti
kembali dihari ketiga untuk menepati hukumanku. Saat itu tegakkan had untukku
tanpa ragu, wahai putra Al-Khatab”.
“Adakah orang
yang bisa menjaminmu?”
“Aku tidak
memiliki seorangpun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.
“Tidak ! demi
Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tidak akan
mengijinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah
dengan nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku”.
Aku percaya tapi
harus tetap ada manusia yang menjaminmu.”
“Aku tak punya
!!.”
“Wahai Amirul
Mukminin !!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan
aku penjamin anak muda ini,dan birkanlah dia menunaikan amanahnya !”. Inilah
dia Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri sebagai penjaminnya.
“Engkau hai
Salman, bersedia menjamin anak muda ini ?”
“ Benar aku
bersedia.”
“kalian berdua
kakak-adik mengajukan gugatan,” panggil Umar, apakah kalian bersedia menerima
penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian
ini?” Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki
ksatria dan tak sudi berkhianat.”
Kedua
pemuda ini saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
Waktu tiga hari
yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tidak karuan.
Dia mondar-mandir sementara Salman duduk Khusyu’ didekatnya. Salman tampak
begitu tenang padahal jiwanya diujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tidak
datang memenuhi janjinya, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan
menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qhisash.
Waktu terus
merambat. Pemuda belia itu tidak jua muncul.
Kota Madinah
mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi
Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh
tidak ingin kehilangan sahabat pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu.
Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi satu,
dimulai Abu Darda, beberapa sahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman
jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya. Tetapi Salman menolak. Umar juga
menggeleng. Matahari semakin batas
waktu, lingsir kebarat. Kekhawatiran Umar semakin memuncak. Para sahabat makin
kalut dan sedih.
Hanya beberapa
saat menjelang habisnya waktu tampak seorang datang berlari tertatih dan
terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya dengan
senyum tulus sembari menyeka keringat
yang membasahi sekujur wajah. “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan
rumit sementara untaku tak sempat istirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa
kutinggalkan ditengah jalan. Aku harus berlari-lari sampai kemari sehingga
nyaris terlambat.”
Semua orang yang
melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua
yang mendengar penuturannya merasakan
keharuan yang ,mendesak-desak. Semua orang tiba-tiba merasa tak rela jika
pemuda itu harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda jujur,”
ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “ Mengapa kau datang kembali, padahal
bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak mati menanggung Qishash ?”.
“Sungguh jangan
sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tidak ada
lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada
lagi kejujuran hati dikalangan kaum Muslimin.”
“dan kau
Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu
penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali ? bagaimana kau
bisa mempercayainya ?”.
“Sungguh jangan
sampai orang bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tidak ada lagi
orang yang mau saling berbagi beban dengan saudaranya. Atau janagn sampai ada
yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya diantara orang-orang muslim.”
“Allohu Akbar !”
kata sang Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian tela membesarkan hati umat ini
dengan kemuliaan sikap agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda,
had untukmu harus kami tegakkan !”
Pemuda itu
mengangguk pasrah.
“Kami
memutuskan.....” kata kakak-beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk
memaafkannya”. Mereka tersedu sedan.
“Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah,
pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak sengaja jika dia sampai membunuh
ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami
memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah,!!
Alhamdulillah !!” ujar Umar. Pemuda
terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan ke arah kiblat
mengagungkan asma Allah, yang kemudian diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan ,” Jawab mereka masih terharu, “Bahwa dikalangan umat muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang”.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan ,” Jawab mereka masih terharu, “Bahwa dikalangan umat muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang”.
*Diambil dari
Dalam Dekapan Ukhuwah dan buku Jalan Cinta Para Pejuang by Salim A Fillah atau
kisah tersebut bisa dibaca pada serial Sirah Nabawiyah dengan gaya bahasa yang
berbeda*
No comments:
Post a Comment