Showing posts with label TITIAN ILMU. Show all posts
Showing posts with label TITIAN ILMU. Show all posts

Tuesday, November 3, 2015

Penyakit Weil Pada Kehamilan


PENDAHULUAN

Penyakit leptospirosis menyerang segala umur meskipun sebagian besar terjadi pada usia muda. Di AS, dijumpai 50-150 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia leptospirosis menjadi kasusu endemis nomor tiga dengan angka kematian yang tinggi. Kelompok resiko tinggi yaitu pembersih parit, petani, petugas survey hutan, dokter hewan dan pekerja laboratorium.
Berdasarkan manifestasi klinik, leptospirosis dibagi menjadi leptospirosis ikterik dan anikterik. Gambaran dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, anemia dan trombositopenia, kenaikan enzim transaminase dan enzim keratin posfokinase. Pemeriksaan penunjang lainnya dalah pemeriksaan serologis (leptodipstik). Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari suatu isolate atau gejala klinis dengan serologi posistif.

Secara klinis leptospirosis dibagi menjadi empat fase yaitu
ü  Periode inkubasi (hari 2-10)
Yaitu bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka atau mukosa flagella bakteri membantu penetrasi ke jaringan.
ü  Fase Septikemi (hari 4-7)
Gejala kinis ditandai demam mendadak, sakit kepala,nyeri otot mual. Leptospirosa diisolasi dari darah, cairan serebros[inal dan sebagian besar jaringan. Kebnayakan tidak ikterik tetapi 5-10% mengalami ikterik
ü  Fase Antara (hari 1-3)
Demam dan gejala lainnya pulih sementara menjelang onset dari fase imun
ü  Fase Imun (hari >30 hari)
Demam kembali dan timbul gejala meningitis. Timbul respon humoral antibody leptospira mengakibatkan pembersihan organisme dari sebagian jaringan kecuali tubule ginjal dan leptospira terus tumbuh dalam jangka waktu yang lama.

Berdasarkan berat ringanya gejala klinik, leptospirosis dibagi menjadi dua jenis yaitu leptospirosis ringan dan berat.
Leptospirosis berat atau yang dikenal sebagai penykit weil syndrome  memiliki gejala klinis yang khas yaitu ikterik, pneumonia, perdarahan, gagal ginjal  dan meningitis. Penyakit weil sering mengakibatkan adult respiratory distress syndrome dan severe pulmonary haemorraghe syndrome dengan angka mortalitas 20%.


KASUS
Wanita hamil (G1P0A0) 22 tahun pindahan dari ruang rawat penyakit dalam dengan penurunan kesadaran, sesak nafas spontan, merah dan berbusa disertai demam. Pasien ini adalah seorang petani,dan sebelumnya merupakan rujukan dari RS lain yang dirawat dengan diagnosis hipertensi gravidarum disertai dengan gagal ginjal akut.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati, serta leptodipstik positif sehingga ditegakkan diagnosis weil syndrome. Terapi yang diberikan adalah rehidrasi, antibiotik. Namun setelah 6 hari mengalami perburukan dan dirawat di ICU
Pemeriksaan fisik sewaktu masuk ICU, pasien tampak sakit berat ,kesadaran menurun GCS E3M3V4. Tekanan darah 132/91 mmhg, RR:120x/mnt, suhu 38,8 celsius, konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ronchi basah namun tidak terdapat tanda-tanda edema pada kedua ekstremitas. Hasil laboratorium hanya leukosit yang meningkat menjadi 22.750/mm
AGD : PH. 7,33. PCO2: 27. PO2:45. HCO3 :14,5. BE: -9,5, Saturasi 73,1% diberikan oksigenasi binasal canul :5 liter/mnt. Kadar ureum 105 mg/dl. Kreatinin 3,4 mg/l, SGOT: 721, SGPT 642u/l. Protein total 4,7. Globulin 2,2 dan leptodipstik (+).
Diagnose kerja adalah gagal nafas hipoksemia karena edema paru disertai penyakit weil, acute kidney injury dengan kehamilan. Skor APACHE II 24 dengan prediksi angka mortalitas 49,7%. Pengelolaan pasien ini dimulai dengan pemberian bantuan ventilasi mekanik dengan pola pressure controlled ventilation.Kecuali dengan bantuan ventilasi mekanik dengan PEEP tinggi, infus diuretic untuk mengatasi udema paru. Antibiotik disesuaikan dengan kulture darah yng sudah diambil. 

Pada hari pertama pasien masih hipoperfusi yang ditandai dengan hiperlaktatemia sehingga pasien belum diberikan terapi nutrisi. Gangguan faal koagulasi terjadi dan dikoreksi dengan pemberian vitmin K selama 3 hari. Kemuadian dilakukan koreksi elektolit dengan kalsium gluconas. Terapi lainnya diberikan untuk mencegah stress ulcer, glucose control. Dilakukan juga transfuse sel darah merah pekat 500ml. Pengndalian suhu dilakukan dengan pemberian infus antipiretik. Pasien ini segera dilakukan hemodialisa karena oliguria edema paru dan hyperkalemia.
Pada hari kedua sudah tampak perbaikan oksigenasi dan ventilasi dengan hasil AGD PH:7,4. PCO2:42mmhg, PO2: 129mmHg, HCO3: 24,8 dan BE 1,5. Vetilator dipersiapkan untke weaning.
Keadaan peruse membaik yang ditandai dengan tekana darah 112/81 mmHg dengan kadar laktat 1,7 dan terapi enteral dengan nefrisol dimulai.
Pada hari berikutnya hasil pemeriksaan AGD semakin memvaik, dengan P/F ratio 320,5 dan kadar Hb 10,6 g/dl, leukosit 15.000mm. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan kardiomegali tanpa bendungan edema paru. Dan penyapihan ventilator dimulai dengan mode pressure support dan CPAP.
Pada hari keenam dilakukan estubasi ETT dan diganti dengan masker nonn rebreathing10 ltr/mnt dan pada hari berikutnya diberikan okesigenasi binasal kanul, dan pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa

Pasien kembali masuk ICU.  Pada pemeriksaan fisik, kesadaran: apatis . Tekanan darah 62/40 mmhg. Laju nadi 128 x/mnt, tampak cyanosis dengan  SpO2 70%. Pasien mengalami henti jantung dan segera dilakukan resuitasi jantung paru dan berhasil sedangkan tekanan vena central 21,9cmH2O.
Diagnosis kerja sebagai gagal nafas karena edema paru kardiogenik dengan penyulit syok kardiogenik. Skor APACHE II dengan 37% dengan prediksi angka mortalitas 83,1%.
Pasien kemudian diberikan ventilasi dengan mode volume control namun keadaan hemodinamik tidak stabil sehingga diberikan norprinefrin dan dobutmin dengan dosis sedang. Untuk NGT berwarna hitm yng kemuian disambung dan diberikan obat untuk mengontol stress ulcer. Infus diuretic diberikan setelah tekanan sistolik > 90mmhg. Terapi antibiotk disesuaikan dengan hasil culture.
Hari berikutnya keadaan umum  pasien mulai membaik, ditandai dengan hemodinamik yang membaik, sesak berkurang dan ronchi basah pada kedua lapang paru sudah berkurang. Pada pemantauan denyut jantung janin negatif, dan dilakukan terminasi kehamilan. Hasil pemeriksaan AGD PH 7,37. PCO2: 43,7 mmhg, PO2: 91,2 mmhg, BE:-0,1 HCO3: 25,2. Rasio P/F 212. Bantuan ventilasi mekanik diubah ke volume sinkronize.

Pada hari ketiga pasien sadar untuk sesak dan demam berkurang. Foto thoraks menunjukkan kardiomegali tetapi tidak ditemukan edema paru. Pemeriksaan echo menunjukkan ejection fraction (EF) 72%, mitral insufficiency ringan dan Aortic Isufficiency ringan.

PEMBAHASAN
Demam yang berlangsung terus menerus disertai adanya riwayat pekerjaan di sawah, pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan inflamasi hati dan tanda-tanda gagal ginjal, serta didukung hasil positif pada pemeriksaan antibody terhadap leptospirosis, maka pasien ini didiagnosa leptospirosis. Insidens gangguan paru yang menyertai penyakit weil berkisar 20-70%. Martinez gracia dkk melaporkan bahwa komplikasi prognosis dan kematian yang tinggi. Dua bentuk utama keterlibatan paru adalah ARDS dan pulmonary haemorrhage.
Pasien ini mengalami edema paru kardiogenik karena pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda kongesti berupa edema perifer, distensi dari vena jugularis dan ronchi basah difuse pada kedua lapang paru. Pemeriksaan foto thofaks menunjukkan adanya kardiomegali. Edema paru dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Edema paru  non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan bukan gangguan pada jantung. Sedangkan edema paru kardiogenik dihubungkan dengan peningkatan tekanan hidrostastik kapiler paru.
Penanganan kasus edema paru kardiogenik adalah dimulai dengan resusitasi ABC. Pemberian oksigen ditunjukkan untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas 90%. Pada pasien hipoksemia atau hiperkarbia refrakter, tindakan intubasi trachea dan ventilasi mekanik pada edema paru akan memudahkan terjadinya redistribusi cairan edema sehingga dapat memperbaiki proses oksigenasi.


Pengelolaan edema paru kardiogenik ialah

Penurunan preload : dapat menurunkan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner dan menurunkan transudasi cairan ke interstisium pulmoner dan alveolus. Terapi diuretic adalah pilihan utama dalam menurunkan preload, demikian pula golongan nitrat efektif untuk memperbaiki preload.

Penurunan afterload : dapat meningkatkan cardiac output sehingga akan memperbaiki perfusi ventrikel kiri yang berat atau masalah katup tidak toleran terhadap penurunan preload dan afterload.


Memperbaiki kontraktilitas bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat . Inotropik yang biasa digunakan adalah dobutamin. Obat ini termasuk golongan katekolamin yang bekerja direseptor beta 1 agonis, memiliki efek inotropic positif sedikit efek kronotropik dan vasodilatasi perifer minimal. Edema paru yang berulang dapat dipengaruhi oleh derajat jantung yang mendasari.

Suatu penelitian di sao Paulo pada 33 pasien leptospirosis yang dirawat di ICU, melaporkan adanya penurunan bermakna angka mortalitas pada kelompok pasien yang mendapatkan dialysis segera dibandingkan dengan kelompok pasien yang terapi dialysis tertunda.

Leptospirosis selama kehamilan dapat menimbulkan kematian janin dan sering dijumpai pada trimester pertama kehamilan. Pada pasien ini dilakukan terminasi kehamilan setelah diperiksa denyut jantung janin tidak ada.

Penulis : Satriawan Abadi, Fransiscus Jefri M, Syafri Kamsul A, Hisbullah
Bagian ilmu penyakit dalam Unhas dan Bagian Anestesi dan terapi intensive Unhas

Tuesday, October 20, 2015

Intoksikasi Alkohol

Minuman beralkohol biasa dikenal sebagai minuman keras, sehingga dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Angka kematian akibat alkohol dilaporkan secara sporadis dimedia masa. Keracunan alkohol didalam tubuh bisa karena disengaja misal usaha bunuh diri atau tidak sengaja karena tidak tahu bahwa alkohol terdiri dari beberapa jenis. Alkohol  bisa berupa ethyl alkohol (ethanol), propyl alkohol (isopropanol), ethylene glycol dan methyl alcohol methanol. Dua jenis terakhir ini disebut alkohol beracun sebab lebih cepat mematikan daripada yang lain.

KASUS

Seorang pria berusia 25 tahun dibawa kerumah sakit dengan penurunan kesadaran. Dilaporkan kurang lebih 20 jam sebelumnya. Keadaan pasien pada waktu di UGD pernafasan cepat, nafas tidak berbau dan saturasi 98% dengan oksigen 15 liter permenit dengan dibantu NRM, ronchi pada kedua lapangan paru : TD 92/45 mmHg, HR: 109 x/mnt suhu 38,5, keadaan koma, pupil 4/4 mm, reflex cahaya +/+. Abdomen supel, bising usus normal, reflex balbinski negative. Tidak ada jejas atau cidera dikepala dan ditempat lain. Tidak ada kejang.

Hasil pemeriksaan darah Hb: 18,1 gr/dl, leukosit 26100/mm; Hmt 56%, trombosit 393.000. Hasil AGD. PH: 6,950 :PCO2 17: PO2 139,1: HCO3 3,8: saO2 97%, pemeriksaan GDS adalah 192, ureum 42, kreatinin : 2,2 mg/dl. Na:145, K:7,0, Cl: 101, SGOT 19: SGPT 14. Hasil pemeriksaan EKG didapatkan gelombang masih sinus, tidak didapatkan pelebaran komplek QRS, didapatkan peninggian T. Tindakan yang dilakukan di UGD mempertahankan jalan nafas dengan intubsai trachea dan pemberian ventilasi mekanik, memperbaiki sirkulasi dengan infus ringer asetat 500ml dan natrium bicarbonate 150 meq selama 1,5 jam. Tiga jam kemudian diperiksa analisa gas darah  PH 7,05. PO2: 162, PCO2 18,9, BE: -23,6 SaO 98% dan pasien dipindahkan di ICU. Di intensive care pasien diberikan bantuan ventilasi mekanik dengan pola pressure synchronize. Untuk bantuan terapi antibiotika dilakukan culture.

Pada hari pertama sekresi trachea banyak, kental dan purulent, suhu 37-39 laju nafas 22-23x/mnt. Ronchi pada kedua lapang paru tekanan darah normal. Selama 7 jam pertama terjadi peningkatan TD sistolik 100-130 mmhg dan diastolik 60-80 mmhg dan kesadarannya masih sopor.

Penatalaksanaan Pada Pasien

  1. Mengatasi gagal nafas, intubasi trachea dan bantuan ventilasi mekanik, pressure synchronize dengan diharapkan TV 500-600cc. Dipilih mode ini selain memberikan bantuan nafas diharapkan pasien dapan mengkompensasi sejumlah perubahan asam dana basa yang terjadi. Mula-mula HC03 :3,8 dan pada hari ke tiga, HCO3 sudah meningkat sampai 20 dan terjadi alkalosis respiratorik. Setelah itu bantuan nafas diturunkan bertahap sampai terjadi keseimbangan PH. Perbaikan oksigenasi tampak pada hari kedua ratio Pa02/fiO2 sudah diatas 300 dan pada hari selanjutnya P/F semakin meningkat.
  2. Mengatasi infeksi paru, dengan antibiotik pada pemeriksaan sekresi trachea ditemukan bakteri gram negative batang positif, tidak tumbuh jamur, hasil kultue keluar pada hari ke 5: Acinetobacter baumani yng sensitive dengan cefepime. Suhu tidak febris mulai hari k-3 dan sekresi trachea mulai jernih hari ke 4
  3. Memperbaiki hidrasi dan keseimbangan elektrolit. Pada waktu masuk ICU pasien mengalami dehidrasi dan gangguan elektrolit berupa hiperkalemi dan hipernatremi, oleh karena itu cairan benar-benar diperhitungkan. Obat-obat vasopessor dan inotropic tidak diperlukan Pada pemeriksaan EKG didapatkan peninggian gelombang T, tetapi tidak ditemukan perubahan EKG yang membahayakan seperti pelebaran kompleks QRS, pola gelombang sinus. Hal ini disebabkan asidosis metabolic berat. Bersamaan dengan perbaikan asam basa dan dengan pembatasan asupan kalium, kadar kalium dapat turun . Pada hari ke 2 dan ke 3 kadar kalium rendah karena cairan yang diberikan tanpa kalium ditambah terjadi alkalosis respiratorik. Namun hal ini dapat dikoreksi.
  4. Mengatasi asidosis metabolic dengan target PH>7,2
    • Memperbaiki perfusi dengan meningkatkan MAP> 65 mmHg
    • Bantuan ventilasi pemberian bikarbonat
    • Menghentikan proses pembentukan metabolit beracun dan bersifat asam dengan menggunakan etanol 5% 125ml/jam selama 96 jam
    • Menjaga diuresis urine>2 ml/kgBB untuk memastikan perfusi ginjal baik dan klirens senyawa toksis
    • Hemodialisa belum dilakukan karena respons terhadap tindakan diatas cukup baik

Penulis : Albertus Sugeng Wibisono
ICU RS Mitra Kemayoran-Jakarta

Monday, October 19, 2015

Sindrom HELLP, Eklamsia dan Perdarahan Intrakranial

HELLP syndrome merupakan suatu komplikasi yang membahayakan. Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2-0,6% dari seluruh kehamilan dan 10-20% terjadi pada pasien dengan komorbidi eklamsi. Secara umum terjadi pada pasien multipara, usia kehamilan minimal 35 minggu. Sebanyak 20% kasus tidak disertai dengan hipertensi, 30% kasus disertai hipertensi sedang dan 50% kasus disertai hipertensi berat. Gejala lainnya adalah nyeri kepala 30%, pandangan kabur, malaise 90%, mual/muntah 30%, nyeri disekitar perut atas 65% dan parestesia, kadang juga disertai edema

Kriteria HELLP syndrome adalah hemolytic anemia, Elevated liver enzymes, low platelet count. Komplikasi yang dapat menyertai adalah terlepasnya plasenta, edema paru, ARDS, hematom pada hati dan pecah, gagal ginjal akut, DIC, eklamsi, perdarahan intracerebral dan kematian maternal.

Penyebab HELLP sindrom secara pasti belum ditemukan, sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endothelial mikrovaskular dan aktivasi platelet intravascular. Aktivasi platelet akan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregrasi platelet, serta kerusakan endothelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bias dihentikan dengan terminasi kehamilan.

Sel-sel darah merah yang mengalami hemolysis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati dan dapat menyebabkan terjadinya ischemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya mempengaruhi organ lainnya.

Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi terjadinya eklamsi dan preeklamsi salah satunya adalah peningkatan sintesis bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator yang menurun (prostasiklin), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel yang meluas. Manifestasinya adalah vasopasme arteriol, retensi Na dan air serta perubahan koagulasi. Penyebab lain eklamsi adalah iskhemik plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah, perubahan system imun dan perubahan genetic.

Berkurangnya resistensi vaskuler serebral ditambah dengan adanya kerusakan endotel menyebabkan terjadinya edema cerebri. Meskipun dikatakan bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklamsi tidak akan menyebabkan kerusakan otak yang menetap.

KASUS

Seorang wanita 34 tahun, G8P7A0 usia kehamilan 37-38 minggu mengeluh pusing sejak 1 hari sebelumnya yang makin berat, disertai nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pada pemeriksaan didapatkan pasien sadar dengan tekanan darah 220/100 mmhg. HR (24/mnt, diberikan oksigen dengan sungkup dan dipasang infus. Pasien dirawat dan diobservasi diruang ICU, dalam perawatan mengalami kejang 1x selama 5 menit. Selanjutnya pasien dirujuk ke rumah sakit pusat dengan didiagnosa HELLP syndrome , Eklampsia dan perdarahan intracranial di daerah temporoparietal kanan.

Diruang resusitasi triase IGD RS Rujukan didapatkan tanda-tanda distress nafas, yaitu frekuensi nafas hingga 30x/mnt, disertai nafas cuping hidung dan retraksi dinding adad TD170/120 mmhg, Nadi 120x/mnt, Psien sadar GCS 15. Pupil bulat anisokor ukurab 4mm (kanan) dan 2 mm (kiri). Bicara pasien pelo dan ditemukan lateralisasi ssinistra, Ditemukan edema pada wajah dan tungkai. Psien mengalami kejang 1x, kemudian dilakukan intubasi trachea. Kemudian dilakukan CT scan kepala hasilnya ditemukan perdarahan intracranial didaerah parieto oksipital kanan, dan diperkirakan 50cc. Hasil pemeriksaan darah kadar hemoglobin 13,5 mg/dl, hematocrit 38,5%, leukosit 17500/mm, trombosit 37.000/mm, ureum 12,7 mg/dl, kreatinin 0,8 mg/dl, Na 143 mmol/L,K 3,2 mmol/L, CL 112 mmol/L, factor pembekuan memanjang, SGOT 351,6, SGPT 133, albumin3,2mg/dl, bilirubin direct 1,3 mg/dl, bilirubin total 3,8 mg/dl. Sedangkan pemeriksaan foto thorax dalam batas normal.

Pasien dilakukan secsio secaria berlangsung sekitar 45 menit stelah itu dilakukan opersi kraniotomi (CTR). Pada waktu operasi CTR ditemukan dura tegang kemerahan, perdarahan intracranial luas lebih kurang 100cc dan edema cerebri. Pasca operasi tulang kepala tidak dikembalikan. Perdarahan Selma operasi sebnyak 2500cc dengan produksi urine sekitar 2450 cc. Cairan yang diberikan koloid 1500cc, kristaloid 500cc, transfuse darah lengkap 2800cc darah merah pekat 800cc, trombosit konsentrat 500cc.

Pasca operasi pasien dirawat di intensive selam 10 hari.

PEMBAHASAN

Diagnosis HELLP syndrome pada pasien ini ditegakkan berdasarkan tanda-tanda hemolysis yaitu tingginya kadar LDH= 244u/l dan bilirubin total yang meningkat, adanya peningkatan enzim hati yaitu SGOT dan SGPT serta trombositopenia berat kelas I menurut klasifikasi Missisippi. Trombositopenia merupakan indicator yang terpercaya. Pemeriksaan D-dimer berguna untuk menegakkan diagnosis secra dini, tetapi tidak dilakukan pada pasien ini karena sudah mengalami gangguan faal hemostasis.Pada pasien ini sebelum mengalami kejang memperlihatkan trias klasik preeklemsi yaitu hipertensi, proteinuria dan sindrom : nyeri kepala, nyeri epigastrium, mual, muntah dan edema. HELLP sindrom yang disertai dengan perdarahan intracranial, merupakan kasus yang jarang ditemukan . Trias klasik preeklamsia yang disertai kejang akan menambah komplikasi pasien, sehingga terminasi kehamilan dengan pembedahan SC merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah bertambah buruknya kondisi ibu dan janin. Sebagai pencegahan kejang, diberikan obat anti kejang . Enam jam pasca operasi dilakukan pemeriksaan CT scan kepala ulang. Edema otak merupakan 20% penyebab kematian dari pre eklamsi dan eklamsia. Selain itu pengendalian ventilator dengan target AGD bagus, demikian pula pemberian manitol bertujuan untuk mengurangi edema otak, sehingga tekanan intrakrnial dapat diturunkan dan perfusi darah ke otak dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Sebagai analgetik pascaoperasi digunakan morfin yang diberikan melalui pompa infus. Pemberian obat narkotik intravena dapat dipilih.Morfin tetap pilihan yang terbaik dibandingkan opoid lainnya sebagi penghilang rasa nyeri dengan efek samping yang minimal. Pilihan obat analgetik ini dilaporkan mempunyai pengaruh yaitu dapat menurunkan ambang kejang. Tekanan pasca operasi dini berkisar 160/120 mmhg. Pasien mendapat obat antihipertensi. Target terapi obat antihipertensi ini dilaporkan dapat mengurangi resiko terjadinya perdarahan cerebri dan terjadinya kejang.

Anemia pasca operasi dikoreksi dengan menggunakan daah merah pekat. Kadar hemoglobin stabil diatas 10 gr/dl sejak hari perawatan ke 3, selain itu juga dilakukan tranfusi trombosit.

Penilaian keseimbangan cairan pada pasien ini tidaklah mudah. Keseimbangan cairan sedapat mungkin dibuat negatif untuk mengurangi edema. Penggunaan manitol menyebabkan pengeluaran urine yang banyak sehingga dapat menyebabkan hypokalemia. Penggunaan manitol juga dapat menyebaban gangguan fungsi ginjal dan neurologis.

Pada perawatan hari ke 4 perut pasien menjadi kembung disertai retensi isi lambung yang banyak. Untk memastikan bahwa hal ini disebabkan kondisi hypokalemia (K = 2,9) dan bukan karena obstruksi dilakukan pemeriksaan foto abdomen polos.Koreksi kalium diberikan selama 2 hari berturut-turut. Nutrisi enteral sementara digantikan dengan nutrisi parenteral, sampai retensi cairn lambung minimal.

Pasien mendapatkan bantuan ventilasi mekanik selama 9 hari. Untuk mencegah terjadinya VAP (ventilator Associated Pneumonia), pasien diposisiskan head up 30 derajad, sedasi midazolam hanya diberikan pada hari pertama pasca operasi. Untk tndakan oral hygine, digunakan larutan klorheksidin 0,2%. 

Pada hari ke 3 pasien mulai disapih dari ventilator. Proses ini ditunda sampai hari ke 4 karena pasien mengalami gangguan pada organ pencernaan. Dari 5 tindakan yang selama ini dikampanyekan sebagai ‘VAP prevention Bundle” ada satu hal yang dilakukan pada pasien ini adalah drainase secret subglotik, Karen atindakan tersebut memerlukan pipa endotracheal khusus. Pada pasien ini dilakukan fisioterapi dada dan terapi antibiotik sudah mulai sejak hari pertama pasca kraniotomy. Pencegahan VAP dapat pula dilakukan dengan penggunaan ETT dengan material khusus, bentuk cuff yang khusus,dan kita menjada tekanan cuff 20 cmH2O. Setelah menjalani perawatan di intensive selam 10 hari pasien dipindahkan ke bangsal neurologi dengan gejala sisa lateralisasi kiri dan kolaborasi bagian obstetric.


Penulis : Maulydia, Eddy Raharjo

Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
FK Unair - RSU Soetomo

Friday, October 16, 2015

Analisa Jurnal Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Sindrom)

Sindrom koroner akut (Acute Coronary Sindrom) adalah suatu kondisi dimana pasien mengalami infark miokardial secar tiba-tiba atau angina tidak stabil Unstable Angina pectoris =UAP). Pada Acute myocardial infarction mauapun UAP terjadi penurunan suplai darah ke otot jantung sehingga kebutuhan oksigen tidak memadai, yang menjadi pencetus adanya ischemia. Tahun 2006, diperkirakan 733.000 pasien yang berobat di RS Amerika Serikat terdiagnosa utama ACS. Ketika survey diagnosii juga berdasarkan diagnosA sekunder, angka ini meningkat mencapai 1.365.000 dan akan terus meningkat seiring dengan buruknya gaya hidup.

Pasien dengan ACS harus dipantau untuk keberlanjutan kejadian ischemia miokard ataupun kejadian baru. Meskipun ischemia miokard sering disertai dengan gejala, seperti nyeri dada atau sesak nafas. Beberapa pasien , terutama mereka dengan diabetes, tidak mengalami gejala ACS yang khas. Iskhemia dimanifestasikan pada perekaman EKG berupa perubahan segmen ST (ST elevasi maupun ST depresi). Perubahan ST segment dicatat pada EKG 12 lead. EKG biasanya direkam setiap hari dan setiap kali pasein melaporkan gejala sugestif dari ACS. Meskipun EKG 12 lead adalah standar untuk mendeteksi ischemia miokard, hal tersebut memberikan gambaran yang statis bukan perubahan secara dinamis yang biasa digunakan untuk pemantauan/ monitoring ischemia secara berkelanjutan . Karena ischemia terjadi secara diam-diam maka episodenya bisa terlewatkan. Oleh karena itu AHA dan American Association of Critical care membuat standar praktek dalam memonitoring EKG dan merekomendasikn untuk melakukan monitoring EKG secara berkelanjutan. Tujuan monitoring ST-Segmen secara berkelanjutan adalah untuk memberi peringatan resiko potensial terjadinya ischemia.

Sangkachand, P., Brenda, S., Marjorie, F (2011) melakukan penelitian terkait software untuk ST-map yang ditambahkan pada bedside monitor pasien.

  1. Latar belakang

    Pemantauan ischemia secara terus menerus akan membantu perawat dalam mengidentifikasi kejadian ischemia miokard akut yang terjadi secara tiba-tiba. Bukti menunjukkan bahwa perawat sering tidak melakukan pemantauan ischemia karena merasa sulit untuk melakukannya. Software ST-Map ini menggabungkan tampilan grafik untuk membantu pemantauan ischemia lebih mudah.
     
  2. Tujuan

    Untuk mengetahui apakah penggunaan ST-map ini akan meningkatkan sikap perawat dan kualitas perawatan terhadap pasien melalui pemantauan ischemia.
     
  3. Metoda

    Penelitian ini melibatkan 61 perawat dan 202 pasien dengan acute Coronary Syndrom (ACS) di unit perawatan jantung intensif. Data dasar dikumpulkan mengenai sikap dan kualitas pelayanan perawat terkait ischemia. Kemudian perawat diberikan pengetahuan tentang software ST-map yang sudah di install disemua bedside monitor pasien. Evaluasi dilakukan 4 bulan kemudian.
     
  4. Hasil

    Presentase perawat yang melakukan pemantauan ischemia sebelum adanya ST map adalah 135 dan setelahnya 90% (P<0.001). Alasan paling umum untuk tidak menggunakan pemantauan ischemia sebelum ST-Map adalah karena pengetahuan yang tidak memadai (62%) hal ini merupakan alasan paling umum untuk menyukai pemantauan iskemia. Setelah ST-map terpasang hasilnya adalah diketahuinya kapan pasien mengalami ischemia (80%). Kemudian waktu untuk akusisi 12 lead EKG adalam menanggapi gejala atau perubahan ST Segment adalah 5 samapi 15 menit sebelum ST map berubah dan >5 menit sesudah terjadinya perubahan (P<0,001). Waktu untuk kembali ke laboratorium tidak berebda sebelum dan sesudah ST-map.
     
  5. Kesimpulan

    ST-map dihubungkan dengan peningkatan monitoring ischemia, sikap perawat terhadap pemantauan iskemia dan waktu yang lebih singkat untuk memperoleh EKG 12 lead.

Analis : Ifa Hafifa

Judul jurnal “Continuous ST-Segment Monitoring : Nurses’ Attitudes, practices and Quality of patient care” diambil dari the American journal of critical care, May 2011, Volume 20, No 3

Thursday, October 15, 2015

MODS Pasca Trauma Abdomen

Kasus

MODS Pasca Trauma Abdomen
Seorang pria 17 tahun berat badan 70 kg mengalami trauma kecelakaan 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Mengeluh merasakan nyeri abdomen karena sebelah kiri terbentur ban sepeda motor, Pada pemeriksaan awal TTV dalam rentang normal. Abdomen distensi, nyeri tekan dengan bising usus menurun, Terdapat jejas pada pinggang kiri, hematom scrotal dan hematuria. Hb 92 g/dl, Trombosit 234.000, kreatinin serum 1,6 sedangkan laboratorium yang lain norma. HAsil USG menunjukkan cairan bebas dalam rongga perut curiga dengan robekan di ginjal kiri dan limpa. Awal mula dilakukan resusitasi  RL dan HAES 3 % total sebanyak 3 ltr, kadar HB turun drastic dari 9,2 menjadi 2,9 g/dl. Mengingat keadaan semakin memburuk  kemudian dilakukan operasi untuk menghentikan sumber perdarahan.

Operasi berlangsung selama 3 jam dan didaptakan perdarahan intraabdomen 2,5 liter dan di retroperitoneal 4 liter, Ginjal kiri terbelah dua lalu dilakukan nefrektomi. Pada eksplorasi selanjutnya ditemukan limpa robek ¾ bagian dilakukan penjahitan. TD selama operasi 76/66 sampai dengan 46/36 laju nadi meningkat s/d 144 x/mnt. Produksi urine 100 cc dan total perdarahan selama operasi adalah 11 liter. Cairan pengganti total 3500 ml dan diberikan darah lengkap 12 kantong. Pasien kemudian dirawat di ruang intensive care dengan mode ventilator pressure control. Hasil AGD menunjukkan asidosis metabolic berat yang belum terkompensasi. PH :7,21. PCO2 24. PO2 250, HCO3 .6 . BE. -18 SaO2 100 %. Hasil elektrolit menunjukkan hyperkalemia dengan K 6,4 g%. Trombosit 102.000 mmHg. Hemodinamik tidak stabil harus diberikan vasopressor dan inotropic.

Pada pemantauan 3 jam pertama drain abdomen keluar 400 ml dan 3 jam kemudian jumlah darah menjadi 1500 ml, Terdapat distensi perut  dan tekanan intraabdomen terukur 21cmH2o, diputuskan laparotomy ulang. Didalam perut ditemukan bekuan darah sekitar 700ml dan limfa pecah. Selama operasi ke 2 hemodinamik stabil. Perdarahan sekitar 1000ml, tranfusi darah lengkap 800 ml dan FFP 900 ml. Produksi urine 25 ml. Setelah operasi kedua pasien kembali dirawat diruang intensive. Pada hari pertama pasca operasi HR naik diatas 160x/mnt, pasien tidak demam,sudah diberi analgetik narkotika dengan dosis cukup, oksigenasi baik, anemia teratasi dengan tranfusi. Pengukuran CVP 14 cmH2O namum diperkirakan masih hipovolume dan dilakukan challenge test sampai target CVP normal. Beberapa jam kemudian jumlah urine menurun hanya 25 cc/jam, karena target MAP > 65 mmHg maka diberi furosemide 40 mg Iv, namun produksi urine tidak meningkat. Dilakukan pemeriksaan hasil  lab cito ternyata kreatinin serum naik menjadi 5,2 mg/dl. Suara nafas paru kiri melemah dan dilakukan pemeriksaan thorax foto ulang didapatkan hasil hemathotorax kiri. Segera dikonsultasi dengan bedah thorax untuk dilakukan pemasangan CTT dan hasil produksi darah 500 cc.

Hari kedua pasca operasi hemodinamik stabil dengan vasopressor dan inotropic minimal. Produksi drain abdomen 900 ml. Produksi urine 1 cc/kgbb/jam dengan furosemide continue 10 mg/jam . Retensi cairan lambung 425 cc/24 jam berwarna kehijauan. Terdapat edema paru dengan P/F rasio 59,1, maka cairan dibatasi Hasil laboratorium ditemukan homeostasis memanjang ureum kreatinin meningkat, Fungsi hati  meningkat dengan SGOT  553 dan SGPT  743 bagian nefrologi belum menyarankan untuk cuci darah karena urine masih berespon dengan furosemide. Pada hari keempat dan ke lima keadaan semakin memburuk dengan fungsi ginjal semakin menurun dan tekanan darah semakin tidak stabil. Dari nefrologi disarankan cuci darah tapi tidak dilakukan karena hemodinamik tidak stabil. Pada hari keenam terjadi henti jantung namun masih berespon ketika dilakukan resusitasi jantung paru.

Pembahasan

Operasi besar akan menyebabkan penurunan imun pada hari ke 5-7 pasca operasi dengan meningkatnya resiko infeksi sekunder. Begitu pula pada kasus trauma berat dan pada luka bakar. Infeksi berat baik primer maupun sekunder akan mengeluarkan mediator inflamasi. Apabila respon tidak adekuat maka infeksi  yang akan mendominasi. Sebalikanya bila reaksi tersebut berlebihan akan melepasakan sitokin, radikal bebas, aktivasi system komplemen dan koagulasi, serta migrasi sel darah putih aktif dari sirkulasi kedalam interstisium. Kunci untuk mendiagnosa MODS adalah ada tanda sepsis atau inflamasi dengan penurunan organ yang bersifat progresif. PAisen ini mengalami trauma abadomen yang berat disertai dengan trauma organ vital lainnya. Perdarahan yang hebat akan mengakibat konsumsi trombosit dan factor-faktor koagulasi yang meningkat. Sehingga akan mengakibatkan disfungsi trombosit dan gangguan koagulasi . Mengontrol perdarahan dengan tindakan bedah salah satu upaya mencegah kematian namun apabila telah terjadi peningkatan koagulopati maka penanganannya akan lebih sulit. Perdarahan yang masif salah satu metode yang digunakan adalah damage control surgery. Pencegahan MODS pada pasien trauma adalah mencegah perdarahan, mencegah abdomen compartement syndrome. Yang akan memunculkan gejala “triad of death” yang terdiri dari hipotermi, memanjangnya factor koagulasi dan asidosis metabolic berat.

Pasien ini mengalami gangguan absorbsi di GI tract nya yang ditandai dengan retensi lambung yang cukup banyak. Karena GI tract salah satu tolak ukur untuk mendeteksi gejala sepsi. Hal ini terutama Usus yang dianggap sebagai motor of MODS atau “gut origin theory of sepsis” karena sampai saat ini usus adalah organ yang paling sensitive terhadap ischemia, bila ada hipotensi atau penurunan cardiac output maka villi-villi usus akan mengalami atrofi dan meningkatkan permeabilitas dinding usus. Kemudian terjadi translokasi bakteri dan toksin melalui dinding usus, amsuk ke dalam sirskulasi portal dan sistemik yang akan merangsang kaskade inflamasi yang akhirnya terjadi MODS.

Organ lain yang terlibat MODS adalah paru-paru karena menerima pasokan darah dari seluruh organ dan merupakan produsen sitokin yang potensial. Hipotensi, keadaan low cardiac output dan hipoksia akan menyebabkan hipoperfusi jaringan dan organ serta aktivasi sitokin. Apabilla terjadi reperfusi  radikal bebas yang terbentuk akan memperberat kerusakan organ tubuh. Pada 30% pasien yang mengalami MODS, urutan frekuensi organ yang terlibat adalah pernafasan (30%), ginjal (29%), hati (27%), hematologi (19%) dan neurologi (17%). Pasien ini dalam penangananya didapati disfungsi semua organ yang progresif sehingga pasien ini meninggal dunia pada hari ke 7.

Penulis : Evy S. Siregar dan Tommy Sunartomo

Diambil dari Majalah Kedokteran dan Intensive Care Volume 1 Nomor 4 

Monday, October 5, 2015

Central Venous Cathether (CVC)

Central Venous Cathether (CVC)Sejarah akses vena sentral tidak bisa dilepaskan dari peran seorang dokter pemenang hadiah nobel kedokteran, Werner Forssmann. Pada tahun 1929, Forssmann menjadi pioner sekaligus pasien pertama yang memasukkan kateter ureter ukuran Fr 4 sepanjang 35 cm melalui vena lengan kirinya sendiri, meneruskannya sampai ke atrium kanan. Pada tahun 1953, Dr. Sven Ivar Seldinger (1921-1999), seorang ahli radiologi yang inovatif memperkenalkan suatu teknik insersi kateter dengan bantuan kawat penuntun, yang akhirnya dikenal sebagai teknik Seldinger. Sejak kateterisasi yang pertama oleh Forrsmann dan revolusi insersi kateter dengan teknik Seldinger, alat akses vena sentral telah mencapai kemajuan yang luar biasa.

Ada beberapa jenis alat akses vena sentral (central venous access device, CVAD) yang telah diproduksi untuk kepentingan medis. Dengan tersedianya alat tersebut, akses vena sentral bisa dilakukan dengan pemasangan kateter langsung ke vena sentral menggunakan kateter CVC (Central Venous Catheter) atau melewatkan kateter ke vena sentral melalui vena perifer dengan menggunakan PICC (Peripherally Inserted Central Catheter).

Kateter Jenis Non-tunneled atau Jenis Tunneled

Kateter jenis Non-tunneled difiksasi pada tempat insersinya. Jenis ini yang paling sering dipakai. Contohnya adalah Quinton catheters . Kateter jenis Tunneled ditanam di bawah kulit pada tempat insersi dan memiliki tempat keluar yang terpisah. Tempat keluar itu biasanya terletak di dada. Contohnya adalah Hickman catheters dan Groshong catheters.

Indikasi dan Kegunaan
  1. Pengukuran tekanan vena sentral pada pada kegawatdaruratan guna mengetahui kecukupan cairan. 
  2. Sebagai jalur infus
    • Bila akses vena perifer sulit dilakukan
    • Pemberian obat yang bersifat kaustik atau sklerosan bagi vena perifer, seperti inotropic, Amiodarone, cairan hipertonis, KCl, dan lain-lain. 
    • Nutrisi parenteral baik jangka pendek, jangka panjang maupun permanen 
    • Pemberian antibiotika jangka panjang 
    • Pemberian anti nyeri jangka panjag
    • Pemberian kemoterapi
  3. Dialisis 
  4. Plasmaferesis 
  5. Pengambilan sampel darah berulang 
  6. Pengambilan sel induk darah perifer 
  7. Akses intravena berulang lainnya 
  8. Kateterisasi jantung kanan dalam pemantauan hemodinamik

Komplikasi

Cara pengukuran CVP bisa dilakukan dengan 2 metode, yaitu secara manual dan membaca melalui monitor yang sudah dihubungkan oleh tranduser. Cara melakukan pengukuran CVP secara manual, diantaranya :
  1. Persiapan alat
    Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan pengukuran CVP diantaranya manometer, cairan, water pass, extension tube, three way, bengkok, plester, dll.
  2. Jelaskan tujuan dan prosedur pengukuran CVP kepada pasien.
  3. Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Pasien bisa diposisikan semi fowler (450)
  4. Dekatkan alat-alat ke tubuh pasien
  5. Menentukan letak zero point pada pasien. Zero point merupakan suatu titik yang nantinya dijadikan acuan dalam pengukuran CVP. Zero point ditentukan dari SIC (spatium inter costa) ke 4 pada linea midclavicula karena SIC ke 4 tersebut merupakan sejajar dengan letak atrium kanan. Dari midclavicula ditarik ke lateral (samping) sampai mid axilla. Di titik mid axilla itulah kita berikan tanda.
  6. Dari tanda tersebut kita sejajarkan dengan titik nol pada manometer yang ditempelkan pada tiang infus. Caranya adalah dengan mensejajarkan titik tersebut dengan angka 0 dengan menggunakan waterpass. Setelah angka 0 pada manometer sejajar dengan titik SIC ke 4 midaxilla, maka kita plester manometer pada tiang infus.
  7. Setelah berhasil menentukan zero point, kita aktifkan sistem 1 (satu). Caranya adalah dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan (infus) kea rah pasien. Jalur threeway dari sumber cairan dan ke arah pasien kita buka, sementara jalur yang ke arah manometer kita tutup.
  8. Setelah aliran cairan dari sumber cairan ke pasien lancar, lanjutkan dengan mengaktifkan sistem 2 (dua). Caranya adalah dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan ke arah manometer. Jalur threeway dari sumber cairan dan ke arah manometer dibuka, sementara yang ke arah pasien kita tutup. Cairan yang masuk ke manometer dipastikan harus sudah melewati angka maksimal pada manometer tersebut.
  9. Setelah itu, aktifkan sistem 3 (tiga). Caranya adalah dengan cara mengalirkan cairan dari manometer ke tubuh pasien. Jalur threeway dari manometer dan ke arah pasien dibuka, sementara jalur yang dari sumber cairan ditutup.
  10. Amati penurunan cairan pada manometer sampai posisi cairan stabil pada angka/titik tertentu. Lihat dan catat undulasinya. Undulasi merupakan naik turunnya cairan pada manometer mengikuti dengan proses inspirasi dan ekspirasi pasien. Saat inspirasi, permukaan cairan pada manometer akan naik, sementara saat pasien ekspirasi kondisi permukaan cairan akan turun. Posisi cairan yang turun itu (undulasi saat klien ekspirasi) itu yang dicatat dan disebut sebagai nilai CVP. Normalnya nilai CVP adalah 5-12 cmH2O.

Pemasangan kateter vena sentral mengandung risiko komplikasi, baik mekanis, infeksi, maupun komplikasi thrombosis.
  1. Komplikasi Infeksi
    Kateter sebagai akses vena sentral, merupakan jalur masuk kuman yang sangat potensial karena menghubungkan dunia luar langsung ke sirkulasi darah. Angkanya cukup mencemaskan. Komplikasi infeksi pada penggunaan CVC berkisar dari 5-26 %. Di Amerika Serikat saja, dengan asumsi setiap tahunnya terdapat 15 juta hari penggunaan CVC di ICU, diperkirakan terjadi 80.000 kasus infeksi terkait CVC.

    Karena itu, pada setiap penderita yang menggunakan CVC yang kemudian menunjukkan tanda dan gejala infeksi tanpa sumber yang tidak jelas, anggap saja bahwa CVC tersebut menjadi sumber infeksinya. Jika terdapat kecurigaan infeksi yang berkaitan dengan CVC maka harus diambil dua contoh kultur darah untuk evaluasi terjadinya bakteremia.

    Infeksi terkait kateter bisa dengan cara salah satu dari ketiga mekanisme berikut:
    1. Infeksi lokal dari tempat insersi,
    2. kolonisasi kuman kateter dan
    3. hematogen.

    Untuk mengurangi risiko infeksi, dilakukan paket tindakan berikut :
    1. Higiene tangan
    2. Gunakan duk selebar tubuh
    3. Gunakan antiseptik Chlorhexidine gluconate
    4. Pemilihan lokasi insersi yang optimal
    5. Evaluasi harian penggunaan alat akses vena sentral
    6. Lakukan disinfeksi pintu akses intravena sebelum dipakai
  2. Komplikasi Mekanis
    Komplikasi mekanis saat pemasangan kateter mencakup arterial puncture, hematoma, pneumothorax, hemothorax, arrhythmia, dan malposisi kateter. Risiko terjadinya berbeda-beda antara setiap lokasi insersi. Komplikasi mekanis seperti tertinggalnya guidewire juga bisa terjadi.
  3. Komplikasi Thrombosis
    Kanulasi vena sentral rentan dengan risiko thrombosis vena sentral, yang potensial memicu tromboembolisme vena. Trombosis bisa terjadi pada hari pertama kanulasi. Risiko terendah adalah pada kanulasi vena subklavia. Jika kateter tidak diperlukan lagi, lebih baik segera dikeluarkan untuk mengurangi risiko thrombosis yang berkaitan dengan kateter.

Friday, September 18, 2015

Ventilator Associate Pneumonia (VAP)

Pneumonia sebagai infeksi nosokomial saluran napas bawah menempati urutan ke 2 setelah infeksi saluran kemih. Pneumonia terkait ventilator atau ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan pneumonia nosokomial pada pasien-pasien dengan bantuan ventilasi mekanik selama lebih dari 48 jam, merupakan penyulit pada perawatan pasien di ICU sehingga memperpanjang lama tinggal dan meningkatkan morbidilitas.

Ventilator Associate PneumoniaVAP ini terjadi sampai 40% dari pasien yang menggunakan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, dan timbul antara 10-65% dari seluruh pasien yang terpasang ventilator. Yang cukup memprihatinkan adalah mortalitas rate nya antara 24 sampai dengan 56 persen (American Journal Resprition Critical care, 2002). Kuman yang dominan sebagai penyebab mortalitas adalah Pseudomonas dan Acinetobacter.

Ada dua klasifikasi VAP yaitu early-onset yang terjadi setelah 48-72 jam setelah dilakukan tracheal intubasi. Organisme yang berperan biasanay Hemoplhyllus influenza, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus (methicillin sensitive), E. Coli dan Klebsiella. Klasifikasi ke dua adalah late-onset yang terjadi setelah lebih dari 72 jam intubasi. Biasanya disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter dan Staphylococcus aureus (methicillin resistant). Atau biasanya multiple antibiotic resistant .

Untuk mencegah VAP harus dilakukan langkah-langkah yang memutus mata rantai perkembang biakan bakteri tersebut. Ada empat tindakan utama dalam pencegahan VAP. 

Pertama, melakukan pendidikan dan pelatihan terhadap petugas kesehatan mengenai Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit. Selain itu juga pelatihan bed side teaching untuk petugas yang menangani pasien dengan mekanikal ventilasi. Dan jangan lupa setelah itu melakukan audit kepatuhan petugas terhadap kepatuhan menjalankan SPO pencegahan dan pengendalian VAP.

Kedua, mengurangi kolonisasi mikroorganisme, dengan jalan antara lain : hand hygiene bagi semua yang bersentuhan dengan pasien, laringoscope blade selalu terlebih dahulu di alkoholise sebelum digunakan, hindari re-intubasi, oral hygiene dan kebersihan mulut dijaga, penghisapan lendir, peralatan yang harus steril, pemberian obat-obatan untuk menghindari stress ulcer, pengaturan penbggunaan obat untuk selective Digestive Tract dan DVT

Ventilator Associate PneumoniaKetiga, menghindari aspirasi. Dengan cara secara rutin melakukan oral suctioning subglotic. Usahakan posisi pasien dalam posisi tidur 30-45 degree bila tidak ada kontra indikasi, lakukan perawatan cuff ETT dan lakukan pemeriksaan selang NGT secara teratur adakah terjadi kondensasi yang menandakan adanya infeksi atau tidak.

Dan yang terakhir berfungsi sebagai alat evaluasi yaitu dengan melakukan surveillance VAP secara teratur. Sedangkan untuk pneumonia sendiri ada score yg harus di isi yaitu Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS).

Skor > 6 pada awal atau 72 jam dianggap sugestif pneumonia. Jika <= 6 pada 72 pasien jam mungkin tidak memiliki pneumonia dan antibiotik mungkin dapat dihentikan.




1. Suhu (C)

> = Untuk 36,5 dan, atau sama dengan 38,4 ............................... 0 poin
> = Untuk 38,5 dan, atau sama dengan 38,9 ............................... 1 poin
> = 39 dan untuk, atau sama dengan 36 ..................................... 2 poin

2. Darah leukosit, mm3

> = 4.000 dan, <= untuk 11.000 .............................................. 0 poin
< 4.000 atau > 11.000 ............................................................ 1 poin
dan jika bentuk pita > = untuk 50% ......................................... 1 poin

3. Trakea sekresi

Tidak adanya sekret trakeal ..................................................... 0 poin
Ada sekret trakeal nonpurulent ...........................................…..1 poin
Ada sekret trakeal purulen ..................................................... 2 poin

4. Oksigenasi

PaO2/FIO2, mmHg > 240 atau ARDS (ARDS didefinisikan sebagai PaO2/FIO2 <= sama dengan 200, tekanan arteri pulmonal <= sampai 18 mm Hg dan akut infiltrat bilateral) ........................................ 0 poin
<= Sama dengan 240 dan tidak ada ARDS ............................. 2 poin

5. Paru radiografi (Pulmonary radiography)

Tidak infiltrat ..................................................................... 0 poin
Diffuse (atau merata) infiltrat .............................................. 1 poin
Localized infiltrat ............................................................... 2 poin

6. Perkembangan paru menyusup (Progression of pulmonary infiltrate)

Tidak ada perkembangan radiografi .......................................... 0 poin
Ada perkembangan Radiografi (tidak CHF atau ARDS) ........ …..2 poin

7. Kultur aspirasi trakea (Culture of tracheal aspirate)

Bakteri patogen dibudidayakan dalam jumlah yang langka atau cahaya atau
tidak ada pertumbuhan ……………………………………..…. 0 poin
Bakteri patogen dibudidayakan dalam jumlah sedang atau berat ...... 1 poin
Bakteri patogen yang sama terlihat pada pewarnaan Gram, tambahkan 1 poin ............. 1 poin

Catatan: CPIS pada awal dinilai berdasarkan lima variabel pertama, yaitu temperatur, menghitung darah leukosit, sekresi trakea, oksigenasi, dan karakter paru menyusup/infiltrat. CPIS pada 72 jam dihitung berdasarkan ketujuh variabel dan mengambil mempertimbangkan perkembangan hasil infiltrat dan kultur dari aspirasi trakea. Skor> 6 pada awal atau 72 jam dianggap sugestif pneumonia

Ternyata rumah sakit tidak hanya bisa menyembuhkan pasien tetapi juga menambah penyakit pasien.

Monday, September 14, 2015

With Drawing and With Holding

Seorang pasien yang dirawat ,suatu saat pasti mengalami perubahan kondi.Apalagi pasien yang terdapat di ICU. Seseorang pasien yg hendak masuk ICU pun biasanya di lakukan penjelasan. Penjelasan itu mengenai alasan/ kriteria pasien kenapa yang dimasukkan di ICU. ada kriteria khusus dan prioritas.Kalau kriteria khusus itu biasanya standar tersendiri yang sudah dibuat berdasarkan SOP. Sedangkan prioritas misalnya ada seseorang kakek usia 78 tahun dengan diagnosa MODS disisi lain ada seorang ibu hamil terjadi eklamsi dan gawat janin usia masih 30 tahun,maka biasanya yang jadi prioritas utama adalah ibu hamil meskipun yang konsul terlebih dahulu membutuhkan ICU adalah kakek tersebut

Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator.

Ketika terjadi kondisi kritis biasanya keluarga akan diberikan edukasi dan penjelasan terhadap keputusan yang akan diambil. Ada beberapa keputusan yang diambil selain mengusakan maksimal apabila telah dilakukan usaha yang maksimal,baik itu berupa tindakan ataupun terapi yanh diberikan. Diantaranya with-holding dan with-drawing

With-holding diartikan sebagai tindakan untuk tidak memberikan terapi baru walau ada indikasi penyakit baru,namun tindakan yang sudah terlanjur diberikan tidak dihentikan. Sedangkan with-drawing adalah menghentikan semua terapi yang sudah diberikan kepada pasien sejak awal namun terbukti tidak bermanfaat.Jadi with-drawing lebih bersifat aktif dibandingkan with-holding yang cenderung pasif dalam mengakhiri hidup pasien.
With-drawing juga lebih cepat menghasilkan kematian secara cepat dan pasti.

Yang tergolong life support yang bisa dihentikan adalah perawatan ICU, CPR, alat pengontrol irama jantung, intubasi trakeal, ventilator, obat-obat vasoaktif, total nutrisi parenteral, organ buatan, transfusi darah, serta monitoring secara intensif. Di Indonesia, untuk pemberian antibiotik, nutrisi, dan cairan dasar bahkan termasuk life support yang dihentikan

Namun di Indonesia ada beberapa rumah sakit yang masih merasa tabu untuk memberikan saran tindakan tersebut ke keluarga pasien.Ada beberpa pelanggaran yang tersirat dalam keputusan terswbut diantaranya:
Pertama pelanggaran etik uang dimaksud adalah dari segi finansial juga seharusnya biaya untuk perawatan yang sia-sia bisa dialokasika
Selain itu melanggar kewajiban untuk tidak menyiksa pasien dan melanggar hak pasien.
Dan terakhir dari sisi keadilan, maka akan melanggar hak pasien lain.
Artinya, pasien yang lebih memiliki harapan hidup seharusnya lebih diprioritaskan.

Sayangnya masih banyak dokter yang tidak berani melakukan tindakan with-drawing maupun with-holding mungkin karena memberi kesan sengaja membunuh. Padahal yang dituju bukan mengakhiri nyawa pasien namun menghentikan prosedur sulit yang sia-sia.

Thursday, September 3, 2015

Anda Alergi atau Memiliki Penyakit Autoimun Lain?

Bagai para perawat klinik mungkin sudah hafal mengenai penyakit myastenia gravis atauGBS (gullian barre syndrom). Penyakit autoimun yg menyerangs sistem saraf pernafasan.  Penyakit yang mengancam hidup seorang pasoen dan membutuhkan penanganan yang intensif.
Sering pada pasien myastenia dan GBS dirawat di ruang intensif sampai 100 hari atau lebih. Malah kadang untuk pasienn myastenia sering terjadi serangan berulang sehingga menyebabkan gagal nafas.
Salah satu terapi untuk mengurangi toksin yang terdapat dalam plasma adalah suntik immunoglobulin atau dilakukan plasmaforesis.

Plasmaferesis adalah proses mengeluarkan plasma donor untuk mengekstrak komponen tertentu dan mengembalikan bagian-bagian yang tidak dibutuhkan ke donor. Proses ini terus-menerus menggunakan sirkulasi darah dari donor melalui mesin dan dikembalikan ke donor. Proses ini memungkinkan untuk menghapus elemen yang diinginkan dari volume besar plasma
Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar. Plasmaferesis mula-mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun 1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas.
mekanisme kerja plasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi, kompleks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik dalam plasma. Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma. Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cara: Secara manual Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan komponen lain dikembalikan ke penderita.Dengan menggunakan cell separator Prinsip kerja cell separator dapat berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma. Uqntuk cairan pengganti  Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata, tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor. Pada penderita untuk donor plasma dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi. Fresh frozen plasma, albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti, penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura. 

Mungkin agak sedikit membingungkan bagi oranh awam. Saya akan memberikan cerita sedikit.
Suatu hari ada seorang dokter yang datang ke ruangan intensif kami 
Dokter : teh ada tempat kosong?
Perawat :untuk siapa dok?
Dokter : untuk saya?
Perawat : untuk dokter? Pasien mau masuk dengan apa?
Dokter : saya teteh..mau numpang plasmaforesis
Perawat : kenapa plasmaforesis ?
Dokter : saya alergi
Perawat : bisa ya dok?
Dokter : gini teh alergi itu autoimun, sy hanya membersijkan plasma saja,mengurangi kotoran di plasma,siap tahu berkurang namanya juga ikhiar
Dan benar sampai sekarang dokter tersebut sudah berkurang alerginya.

Kalau untuk mengenai biaya plasmaforesis,setiap rumah sakit berbeda beda tapi, di rumah sakit rujukan di jawa barat sekitar 5 juta sekali plasmaforesis, tapi kalo update harga terbaru sy tidak tahu.
Sehat itu mahal bukan? Tapi seringkali kesehatan yang membuat kita lupa untuk bersyukur.

Sunday, August 9, 2015

Manfaat Rumput Liar Sereh (Cymbopogon citratus) bagi Kesehatan Manusia

Manfaat Rumput Liar Sereh (Cymbopogon citratus) bagi Kesehatan Manusia


Mudiiikkkkkkk.....Yah ketika kami mudik ke Purworejo dan suami sengaja ingin maen ke Yogyakarta. Tidak afdol rasanya tidak mencicipi makanan kuliner di jogja. Pada awalnya saya merekomendasikan untuk makan di salah satu rumah makan yg bernuansa pepohonan. Sayangnya pas sampai ke sana saya dan suami hanya melihat puing-puing sisa kebakaran yang melanda rumah makan itu. Ya...ternyata rumah makan itu sudah terbakar tanggal 8 Agustus 2015 kemarin. Akhirnya kita mencari rumah makan disekitar Malioboro saja sekalian jalan-jalan di Malioboro.

Ketika kami memilih menu makan dan minum, saya melihat ada menu “wedang sereh”. Wedang dalam bahasa indonesia berarti minuman. Wedang sereng dengan kata lain minuan yang berasal dari sereh. Jadi teringat tanaman di depan rumah yang menggerombol sangat subur meskipun musim kemarau. Itulah tanaman sereh atau serai dengan nama binomialnya Cymbopogon Citratus. Ternyata tanaman ini menghasilkan minyak atsiri.

Serai mengandung antioksidan flavonoid, dan senyawa fenolik seperti luteolin, glikosida, quercetin, kaempferol, elimicin, catecol, asam klorogenat, asam caffeic yang berkhasiat obat. Senyawa utama dalam serai adalah lemonal atau citral, yang memiliki sifat anti-jamur dan anti-mikroba, serta menyediakan bau lemon yang berbeda-beda. Sereh memiliki sifat anti-hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, yaitu mendukung kadar kolesterol yang sehat. Sereh efektif untuk mengobati berbagai jenis kanker tanpa mempengaruhi sel-sel tubuh yang normal dan sehat. Penelitian membuktikan aktivitas anti kanker sereh yang telah menunjukkan hasil menjanjikan dalam pencegahan kanker kulit. Penelitian lain juga telah menunjukkan sereh juga membantu untuk menghambat pertumbuhan sel kanker hati fase awal dan mencegah pembentukan lebih lanjut. Efek lainnya Yang diketemukan  adalah juga dapat menghambat pertumbuhan sel kanker payu dara.

foto : guru.or.id
Studi telah membuktikan bahwa minyak atsiri dalam sereh memiliki aktivitas anti biofilm , yang bermanfaat pencegahan terhadap infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Sereh mengandung fenol yang memiliki kemampuan menyebar dengan cepat melalui jaringan tubuh,  dan menyembuhkan biofilm yang terletak di mana saja pada tubuh. Sereh akan mengganggu pertumbuhan dan komunikasi kuman, sehingga akan membantu menghambat pembentukan biofilm. Minyak esensial dari sereh berguna untukpenggunaan topikal maupun internal untuk penyakit yang didiagnosis dengan biofilm seperti penyakit Lyme.

Penelitian telah menunjukkan bahwa minyak atsiri dalam sereh memiliki sifat anti mikroba dan anti-bakteri yang membantu memerangi infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri patogen seperti Helicobacter pylori dan Escherichia coli. Sereh bermanfaat untuk pencegahan gangguan gastro intestinal seperti ulkus lambung, membantu merangsang fungsi usus dan memperbaiki pencernaan. Sifat anti inflamasi sereh bermanfaat untuk mengobati sembelit, ulcerative colitis, diare, mual dan perut nyeri.

Sereh juga bermanfat untuk menenangkan otot dan saraf, sehingga dapat membantu mendorong tidur yang nyenyak. Penelitian telah menunjukkan bahwa teh sereh memiliki sifat sedatif dan hipnotik,  yang membantu meningkatkan waktu dan kualitas tidur.

Sereh banyak digunakan sebagai obat untuk pengobatan batuk dan pilek. Seiring dengan senyawa sehat lainnya, yaitu  vitamin C  dalam serai membantu mengatasi penyumbatan hidung karena flu dan gangguan pernafasan lainnya seperti asma bronkial.

Selain untuk obat-obatan tradisional, serai umumnya digunakan pada masakan Asia, terutama masakan Indonesia, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Sereh umumnya digunakan untuk menambah rasa pada minuman seperti teh, memasak kare, sup dll. Meskipun aman, namun penggunaan teh herbal sereh yang terbuat dari sereh dapat mengakibatkan reaksi alergi pada beberapa orang. Jika ada gejala alergi, dianjurkan untuk segera menghentikan penggunaan dan mencari bantuan medis segera.

Minyak sereh murni tidak harus diterapkan secara langsung pada tubuh,  karena dapat mengakibatkan reaksi yang bisa berbahaya. Oleh karena itu selalu dianjurkan untuk menghindarkan minyak sereh murni dari jangkauan anak. Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan ahlil kesehatan sebelum mempergunakan minyak sereh untuk terapi pada kondisi khusus,  seperti kehamilan atau mencoba untuk hamil, menyusui dan selama pengobatan.

Sereh memiliki sifat galactagogic, yaitu yang mempromosikan pembentukan susu. Sereh juga efektif untuk melancarkan aliran menstruasi dan membantu menenangkan kram dan ketidaknyamanan saat menstruasi. Sereh juga membantu meredakan pembengkakan dan mujarab untuk varises. So...Segitu banyak manfaat sereh yang murah meriah dan mudah ditanam, boleh lah sesekali minuman ini. Atau kita pun sudah sering mencampurkan ketika memasak. Karena kita lebih baik mejaga kesehatan dibandingkan mengobati penyakit.

Rosul pun lebih meyukai mukmin yang sehat dibanding yang sakit. Tapi adakalanya kita tidak perlu berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu, karena Allah pun tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.