Thursday, October 15, 2015

MODS Pasca Trauma Abdomen

Kasus

MODS Pasca Trauma Abdomen
Seorang pria 17 tahun berat badan 70 kg mengalami trauma kecelakaan 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Mengeluh merasakan nyeri abdomen karena sebelah kiri terbentur ban sepeda motor, Pada pemeriksaan awal TTV dalam rentang normal. Abdomen distensi, nyeri tekan dengan bising usus menurun, Terdapat jejas pada pinggang kiri, hematom scrotal dan hematuria. Hb 92 g/dl, Trombosit 234.000, kreatinin serum 1,6 sedangkan laboratorium yang lain norma. HAsil USG menunjukkan cairan bebas dalam rongga perut curiga dengan robekan di ginjal kiri dan limpa. Awal mula dilakukan resusitasi  RL dan HAES 3 % total sebanyak 3 ltr, kadar HB turun drastic dari 9,2 menjadi 2,9 g/dl. Mengingat keadaan semakin memburuk  kemudian dilakukan operasi untuk menghentikan sumber perdarahan.

Operasi berlangsung selama 3 jam dan didaptakan perdarahan intraabdomen 2,5 liter dan di retroperitoneal 4 liter, Ginjal kiri terbelah dua lalu dilakukan nefrektomi. Pada eksplorasi selanjutnya ditemukan limpa robek ¾ bagian dilakukan penjahitan. TD selama operasi 76/66 sampai dengan 46/36 laju nadi meningkat s/d 144 x/mnt. Produksi urine 100 cc dan total perdarahan selama operasi adalah 11 liter. Cairan pengganti total 3500 ml dan diberikan darah lengkap 12 kantong. Pasien kemudian dirawat di ruang intensive care dengan mode ventilator pressure control. Hasil AGD menunjukkan asidosis metabolic berat yang belum terkompensasi. PH :7,21. PCO2 24. PO2 250, HCO3 .6 . BE. -18 SaO2 100 %. Hasil elektrolit menunjukkan hyperkalemia dengan K 6,4 g%. Trombosit 102.000 mmHg. Hemodinamik tidak stabil harus diberikan vasopressor dan inotropic.

Pada pemantauan 3 jam pertama drain abdomen keluar 400 ml dan 3 jam kemudian jumlah darah menjadi 1500 ml, Terdapat distensi perut  dan tekanan intraabdomen terukur 21cmH2o, diputuskan laparotomy ulang. Didalam perut ditemukan bekuan darah sekitar 700ml dan limfa pecah. Selama operasi ke 2 hemodinamik stabil. Perdarahan sekitar 1000ml, tranfusi darah lengkap 800 ml dan FFP 900 ml. Produksi urine 25 ml. Setelah operasi kedua pasien kembali dirawat diruang intensive. Pada hari pertama pasca operasi HR naik diatas 160x/mnt, pasien tidak demam,sudah diberi analgetik narkotika dengan dosis cukup, oksigenasi baik, anemia teratasi dengan tranfusi. Pengukuran CVP 14 cmH2O namum diperkirakan masih hipovolume dan dilakukan challenge test sampai target CVP normal. Beberapa jam kemudian jumlah urine menurun hanya 25 cc/jam, karena target MAP > 65 mmHg maka diberi furosemide 40 mg Iv, namun produksi urine tidak meningkat. Dilakukan pemeriksaan hasil  lab cito ternyata kreatinin serum naik menjadi 5,2 mg/dl. Suara nafas paru kiri melemah dan dilakukan pemeriksaan thorax foto ulang didapatkan hasil hemathotorax kiri. Segera dikonsultasi dengan bedah thorax untuk dilakukan pemasangan CTT dan hasil produksi darah 500 cc.

Hari kedua pasca operasi hemodinamik stabil dengan vasopressor dan inotropic minimal. Produksi drain abdomen 900 ml. Produksi urine 1 cc/kgbb/jam dengan furosemide continue 10 mg/jam . Retensi cairan lambung 425 cc/24 jam berwarna kehijauan. Terdapat edema paru dengan P/F rasio 59,1, maka cairan dibatasi Hasil laboratorium ditemukan homeostasis memanjang ureum kreatinin meningkat, Fungsi hati  meningkat dengan SGOT  553 dan SGPT  743 bagian nefrologi belum menyarankan untuk cuci darah karena urine masih berespon dengan furosemide. Pada hari keempat dan ke lima keadaan semakin memburuk dengan fungsi ginjal semakin menurun dan tekanan darah semakin tidak stabil. Dari nefrologi disarankan cuci darah tapi tidak dilakukan karena hemodinamik tidak stabil. Pada hari keenam terjadi henti jantung namun masih berespon ketika dilakukan resusitasi jantung paru.

Pembahasan

Operasi besar akan menyebabkan penurunan imun pada hari ke 5-7 pasca operasi dengan meningkatnya resiko infeksi sekunder. Begitu pula pada kasus trauma berat dan pada luka bakar. Infeksi berat baik primer maupun sekunder akan mengeluarkan mediator inflamasi. Apabila respon tidak adekuat maka infeksi  yang akan mendominasi. Sebalikanya bila reaksi tersebut berlebihan akan melepasakan sitokin, radikal bebas, aktivasi system komplemen dan koagulasi, serta migrasi sel darah putih aktif dari sirkulasi kedalam interstisium. Kunci untuk mendiagnosa MODS adalah ada tanda sepsis atau inflamasi dengan penurunan organ yang bersifat progresif. PAisen ini mengalami trauma abadomen yang berat disertai dengan trauma organ vital lainnya. Perdarahan yang hebat akan mengakibat konsumsi trombosit dan factor-faktor koagulasi yang meningkat. Sehingga akan mengakibatkan disfungsi trombosit dan gangguan koagulasi . Mengontrol perdarahan dengan tindakan bedah salah satu upaya mencegah kematian namun apabila telah terjadi peningkatan koagulopati maka penanganannya akan lebih sulit. Perdarahan yang masif salah satu metode yang digunakan adalah damage control surgery. Pencegahan MODS pada pasien trauma adalah mencegah perdarahan, mencegah abdomen compartement syndrome. Yang akan memunculkan gejala “triad of death” yang terdiri dari hipotermi, memanjangnya factor koagulasi dan asidosis metabolic berat.

Pasien ini mengalami gangguan absorbsi di GI tract nya yang ditandai dengan retensi lambung yang cukup banyak. Karena GI tract salah satu tolak ukur untuk mendeteksi gejala sepsi. Hal ini terutama Usus yang dianggap sebagai motor of MODS atau “gut origin theory of sepsis” karena sampai saat ini usus adalah organ yang paling sensitive terhadap ischemia, bila ada hipotensi atau penurunan cardiac output maka villi-villi usus akan mengalami atrofi dan meningkatkan permeabilitas dinding usus. Kemudian terjadi translokasi bakteri dan toksin melalui dinding usus, amsuk ke dalam sirskulasi portal dan sistemik yang akan merangsang kaskade inflamasi yang akhirnya terjadi MODS.

Organ lain yang terlibat MODS adalah paru-paru karena menerima pasokan darah dari seluruh organ dan merupakan produsen sitokin yang potensial. Hipotensi, keadaan low cardiac output dan hipoksia akan menyebabkan hipoperfusi jaringan dan organ serta aktivasi sitokin. Apabilla terjadi reperfusi  radikal bebas yang terbentuk akan memperberat kerusakan organ tubuh. Pada 30% pasien yang mengalami MODS, urutan frekuensi organ yang terlibat adalah pernafasan (30%), ginjal (29%), hati (27%), hematologi (19%) dan neurologi (17%). Pasien ini dalam penangananya didapati disfungsi semua organ yang progresif sehingga pasien ini meninggal dunia pada hari ke 7.

Penulis : Evy S. Siregar dan Tommy Sunartomo

Diambil dari Majalah Kedokteran dan Intensive Care Volume 1 Nomor 4 

No comments:

Post a Comment