Monday, October 19, 2015

Sindrom HELLP, Eklamsia dan Perdarahan Intrakranial

HELLP syndrome merupakan suatu komplikasi yang membahayakan. Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2-0,6% dari seluruh kehamilan dan 10-20% terjadi pada pasien dengan komorbidi eklamsi. Secara umum terjadi pada pasien multipara, usia kehamilan minimal 35 minggu. Sebanyak 20% kasus tidak disertai dengan hipertensi, 30% kasus disertai hipertensi sedang dan 50% kasus disertai hipertensi berat. Gejala lainnya adalah nyeri kepala 30%, pandangan kabur, malaise 90%, mual/muntah 30%, nyeri disekitar perut atas 65% dan parestesia, kadang juga disertai edema

Kriteria HELLP syndrome adalah hemolytic anemia, Elevated liver enzymes, low platelet count. Komplikasi yang dapat menyertai adalah terlepasnya plasenta, edema paru, ARDS, hematom pada hati dan pecah, gagal ginjal akut, DIC, eklamsi, perdarahan intracerebral dan kematian maternal.

Penyebab HELLP sindrom secara pasti belum ditemukan, sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endothelial mikrovaskular dan aktivasi platelet intravascular. Aktivasi platelet akan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregrasi platelet, serta kerusakan endothelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bias dihentikan dengan terminasi kehamilan.

Sel-sel darah merah yang mengalami hemolysis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati dan dapat menyebabkan terjadinya ischemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya mempengaruhi organ lainnya.

Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi terjadinya eklamsi dan preeklamsi salah satunya adalah peningkatan sintesis bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator yang menurun (prostasiklin), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel yang meluas. Manifestasinya adalah vasopasme arteriol, retensi Na dan air serta perubahan koagulasi. Penyebab lain eklamsi adalah iskhemik plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah, perubahan system imun dan perubahan genetic.

Berkurangnya resistensi vaskuler serebral ditambah dengan adanya kerusakan endotel menyebabkan terjadinya edema cerebri. Meskipun dikatakan bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklamsi tidak akan menyebabkan kerusakan otak yang menetap.

KASUS

Seorang wanita 34 tahun, G8P7A0 usia kehamilan 37-38 minggu mengeluh pusing sejak 1 hari sebelumnya yang makin berat, disertai nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pada pemeriksaan didapatkan pasien sadar dengan tekanan darah 220/100 mmhg. HR (24/mnt, diberikan oksigen dengan sungkup dan dipasang infus. Pasien dirawat dan diobservasi diruang ICU, dalam perawatan mengalami kejang 1x selama 5 menit. Selanjutnya pasien dirujuk ke rumah sakit pusat dengan didiagnosa HELLP syndrome , Eklampsia dan perdarahan intracranial di daerah temporoparietal kanan.

Diruang resusitasi triase IGD RS Rujukan didapatkan tanda-tanda distress nafas, yaitu frekuensi nafas hingga 30x/mnt, disertai nafas cuping hidung dan retraksi dinding adad TD170/120 mmhg, Nadi 120x/mnt, Psien sadar GCS 15. Pupil bulat anisokor ukurab 4mm (kanan) dan 2 mm (kiri). Bicara pasien pelo dan ditemukan lateralisasi ssinistra, Ditemukan edema pada wajah dan tungkai. Psien mengalami kejang 1x, kemudian dilakukan intubasi trachea. Kemudian dilakukan CT scan kepala hasilnya ditemukan perdarahan intracranial didaerah parieto oksipital kanan, dan diperkirakan 50cc. Hasil pemeriksaan darah kadar hemoglobin 13,5 mg/dl, hematocrit 38,5%, leukosit 17500/mm, trombosit 37.000/mm, ureum 12,7 mg/dl, kreatinin 0,8 mg/dl, Na 143 mmol/L,K 3,2 mmol/L, CL 112 mmol/L, factor pembekuan memanjang, SGOT 351,6, SGPT 133, albumin3,2mg/dl, bilirubin direct 1,3 mg/dl, bilirubin total 3,8 mg/dl. Sedangkan pemeriksaan foto thorax dalam batas normal.

Pasien dilakukan secsio secaria berlangsung sekitar 45 menit stelah itu dilakukan opersi kraniotomi (CTR). Pada waktu operasi CTR ditemukan dura tegang kemerahan, perdarahan intracranial luas lebih kurang 100cc dan edema cerebri. Pasca operasi tulang kepala tidak dikembalikan. Perdarahan Selma operasi sebnyak 2500cc dengan produksi urine sekitar 2450 cc. Cairan yang diberikan koloid 1500cc, kristaloid 500cc, transfuse darah lengkap 2800cc darah merah pekat 800cc, trombosit konsentrat 500cc.

Pasca operasi pasien dirawat di intensive selam 10 hari.

PEMBAHASAN

Diagnosis HELLP syndrome pada pasien ini ditegakkan berdasarkan tanda-tanda hemolysis yaitu tingginya kadar LDH= 244u/l dan bilirubin total yang meningkat, adanya peningkatan enzim hati yaitu SGOT dan SGPT serta trombositopenia berat kelas I menurut klasifikasi Missisippi. Trombositopenia merupakan indicator yang terpercaya. Pemeriksaan D-dimer berguna untuk menegakkan diagnosis secra dini, tetapi tidak dilakukan pada pasien ini karena sudah mengalami gangguan faal hemostasis.Pada pasien ini sebelum mengalami kejang memperlihatkan trias klasik preeklemsi yaitu hipertensi, proteinuria dan sindrom : nyeri kepala, nyeri epigastrium, mual, muntah dan edema. HELLP sindrom yang disertai dengan perdarahan intracranial, merupakan kasus yang jarang ditemukan . Trias klasik preeklamsia yang disertai kejang akan menambah komplikasi pasien, sehingga terminasi kehamilan dengan pembedahan SC merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah bertambah buruknya kondisi ibu dan janin. Sebagai pencegahan kejang, diberikan obat anti kejang . Enam jam pasca operasi dilakukan pemeriksaan CT scan kepala ulang. Edema otak merupakan 20% penyebab kematian dari pre eklamsi dan eklamsia. Selain itu pengendalian ventilator dengan target AGD bagus, demikian pula pemberian manitol bertujuan untuk mengurangi edema otak, sehingga tekanan intrakrnial dapat diturunkan dan perfusi darah ke otak dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Sebagai analgetik pascaoperasi digunakan morfin yang diberikan melalui pompa infus. Pemberian obat narkotik intravena dapat dipilih.Morfin tetap pilihan yang terbaik dibandingkan opoid lainnya sebagi penghilang rasa nyeri dengan efek samping yang minimal. Pilihan obat analgetik ini dilaporkan mempunyai pengaruh yaitu dapat menurunkan ambang kejang. Tekanan pasca operasi dini berkisar 160/120 mmhg. Pasien mendapat obat antihipertensi. Target terapi obat antihipertensi ini dilaporkan dapat mengurangi resiko terjadinya perdarahan cerebri dan terjadinya kejang.

Anemia pasca operasi dikoreksi dengan menggunakan daah merah pekat. Kadar hemoglobin stabil diatas 10 gr/dl sejak hari perawatan ke 3, selain itu juga dilakukan tranfusi trombosit.

Penilaian keseimbangan cairan pada pasien ini tidaklah mudah. Keseimbangan cairan sedapat mungkin dibuat negatif untuk mengurangi edema. Penggunaan manitol menyebabkan pengeluaran urine yang banyak sehingga dapat menyebabkan hypokalemia. Penggunaan manitol juga dapat menyebaban gangguan fungsi ginjal dan neurologis.

Pada perawatan hari ke 4 perut pasien menjadi kembung disertai retensi isi lambung yang banyak. Untk memastikan bahwa hal ini disebabkan kondisi hypokalemia (K = 2,9) dan bukan karena obstruksi dilakukan pemeriksaan foto abdomen polos.Koreksi kalium diberikan selama 2 hari berturut-turut. Nutrisi enteral sementara digantikan dengan nutrisi parenteral, sampai retensi cairn lambung minimal.

Pasien mendapatkan bantuan ventilasi mekanik selama 9 hari. Untuk mencegah terjadinya VAP (ventilator Associated Pneumonia), pasien diposisiskan head up 30 derajad, sedasi midazolam hanya diberikan pada hari pertama pasca operasi. Untk tndakan oral hygine, digunakan larutan klorheksidin 0,2%. 

Pada hari ke 3 pasien mulai disapih dari ventilator. Proses ini ditunda sampai hari ke 4 karena pasien mengalami gangguan pada organ pencernaan. Dari 5 tindakan yang selama ini dikampanyekan sebagai ‘VAP prevention Bundle” ada satu hal yang dilakukan pada pasien ini adalah drainase secret subglotik, Karen atindakan tersebut memerlukan pipa endotracheal khusus. Pada pasien ini dilakukan fisioterapi dada dan terapi antibiotik sudah mulai sejak hari pertama pasca kraniotomy. Pencegahan VAP dapat pula dilakukan dengan penggunaan ETT dengan material khusus, bentuk cuff yang khusus,dan kita menjada tekanan cuff 20 cmH2O. Setelah menjalani perawatan di intensive selam 10 hari pasien dipindahkan ke bangsal neurologi dengan gejala sisa lateralisasi kiri dan kolaborasi bagian obstetric.


Penulis : Maulydia, Eddy Raharjo

Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
FK Unair - RSU Soetomo

No comments:

Post a Comment